"The F word turns me on, she whispered. The F word? FOOD!" - Sandra Brown
Satè Ayam Indonesiana ala Bali bar and resto Rome |
"Pokoknya, di Roma nanti aku mau makan makanan Indonesia dan Ramen!" Teriakku pada Fabio
"ah whatever, teserah kau la!" sambar Fabio dengan aksen medan ala Italianya yg aneh.
Jadi Liburan musim panas ini, kami habiskan di Roma, ibukota Italia yg sayangnya hanya bertengger di peringkat 85 sebagai kota dengan kualitas hidup terbaik seantero Italia. Sebelum berangkat ke Roma, aku sudah lebih dulu research restoran-restoran ala asia terutama restoran Indonesia yang ada di sana. Dulu sih, tahun 2015 aku tahu sebuah restoran Indonesia paling terkenal, sayangnya resto itu ada di Genova, dan ketika aku mulai planning untuk liburan ke Genova, eh restoran ini malah tutup. Restoran Borobudur namanya, konon resto ini juga menyediakan hiburan seperti tari-tarian Indonesia sebagai pembuka jamuan. uh.. sayang hanya tinggal cerita.
Anyway balik lagi ke Roma, setelah research dan mengubek-ubek review di google maps, aku pun bertekad untuk pergi ke Bali bar, sebuah restoran merangkap bar yang berada di outskirt kota Roma. Dengan harapan sangat tinggi disertai renggekan pada suami untuk pergi ke bagian kota Roma yg 'agak sedikit ekstrem' akhirnya kami memutuskan untuk pergi kesana.
***
Hari Selasa, hari ketiga liburan di Roma, kami memutuskan untuk mengeksplorasi Vatican city dan museumnya, dan untuk makan malam, Bali Bar menjadi pilihan karena relatif cukup dekat dari Vatican city ( note : dua kali berganti bus dan 20 menit jalan kaki).
Akhirnya kami sampai di lokasi restoran 30 menit sebelum resto beroperasi. Fyi, resto Bali Bar ini mulai beroperasi dari pukul 8 malam waktu Roma, hmm awalnya kami gak yakin, masa iya sih bukanya telat banget, ternyata memang kenyataannya seperti itu (mungkin karena merangkap bar juga)
Lokasi resto termasuk outskirt alias pinggiran, yang menurutku mirip Jakarta (lol atau Medan) karena banyak sampah dan agak semrawut. Sebelum aku menginjakkan kaki di Roma, aku berpikir, "wah pasti luar biasa teraturnya Roma, kalau San Donà aja bisa luar biasa teratur, rapi, gak pernah ada sampah, puntung rokok atau spit. Ternyataa... daku salah, Roma is like other capital cities in the world where the rich are incredibly rich and the poor are so poor and both have the same mentalities, they don't like rules!
***
"Ding dong" aku memencet bel resto, sambil memencet tombol, terciumlah aroma apek dari dalam resto, hhmmm aku jadi terbayang rumah makan lesehan di Pekanbaru.
"Sì?" jawab waitress membuka pintu resto setengah.
"Mi dispiace, siamo aperto alle 8" maaf kami buka jam 8 malam, kata si waitress berambut pirang ini
"Ah okay, noi torniamo alle 8 allora" kami jawab kami akan balik lagi jam 8 malam.
Begitulah, si waitress tak mengizinkan kami masuk padahal kami memencet bel jam 8:50, jadi mau tak mau kami harus menunggu. Selama penantian yg sangat menyiksa batin ini (karena perut kami sudah sangat keroncongan dan Dario mulai menunjukkan tanda-tanda mengantuk berat) kami mulai berpikir untuk membatalkan bookingan, karena mulai tidak sreg dengan kondisi resto dan attitude pegawainya. Tapi akhirnya kami berpikir, ya sudah mungkin ini yang pertama dan terakhir kami ke resto ini, dan siapa tahu aku bisa ketemu orang indonesia dan bisa ngobrol-ngobrol tentang hidup di perantauan.
Bali Bar and Resto, Rome, Courtesy The Fork |
Kami menunggu dengan gusar di sudut gang tempat lokasi resto, ini beneran gang dan daerah ini mirip sekali dgn kota-kota di Indonesia, salahnya aku tak sempat ambil foto karena sibuk main dengan Dario supaya doi gak tertidur.
Kami kembali memencet bel dan akhirnya dibolehkan masuk pukul 8:15. Pfiuhh, as we expected, cuma kami pelanggan satu-satunya, dannnn ketika kami mulai dituntun masuk ke salam resto yang entahlah, menurutku sempit, bau dan agak kumuh. Aku terheran heran, kami dituntun melalui koridor dgn langit langit yg hampir mengenai kepalaku, melewati beberapa ruangan mirip warung kopi ala indonesia dgn aroma alkohol yg sangat menyesakkan.
Tapi memang, resto ini menghadirkan wajah indonesia, dengan pajangan berupa wayang golek dan payung-payungan tradisional khas Bali dan gaya tempat duduk serta dinding yg semua ditutupi kerajinan rotan
***
"This can't be true" aku mulai resah karena lokasi resto ini membuatku sedikit takut. Mungkin kalau ada resto spt ini di Indonesia, aku tak kan pernah berkunjung. tapi aku membesarkan hatiku dan menghibur diri sendiri, "Mungkin makanannya otentik"
Kami mulai memesan (karena kami sudah research menu online, kami tak butuh daftar menu lagi). Kami berdua memesan Menù Degustazione alias menu paketan. Aku pesan menu paket dgn bintang utama Satè Ayam Indonesiana dan Fabio menu paket dgn bintang utama Rendang daging.
Seperti ala eropa tentu saja , menu datang sesuai urutan, Anti pasto (appetizer) Primo Piatto (first dish), Secondo Piatto (second dish) dan Dolci (dessert)
Untuk anti pasti, kami mendapatkan snack snack ala indonesia : Lumpia isi sayur, Sayur urap (mereka sebutnya urab), dan pangsit goreng isi daging sapi.
Verdict Anti pasti : 2,5 out of 5 stars, dari ketiga makanan di atas mungkin lumpia yg hampir mirip, yang lainnya aku ga ngerti makanan dari mana (lol). Aku sebagai die hard fans sayur urap, kecewa berat begitu merasakan urap buatan resto ini, hambar. Sayurannya tidak lengkap (ya iyalah mana ada kangkung disini) tapi okelah, cuma yg paling parah itu bumbu urapnya, mereka cuma menggongseng kelapa dgn garam, tok ga ada apa apa lagi, ga ada rasa bawang-bawangan dan bumbu-bumbu lain (maap gue ga hapal bumbu urap, lol)
Next nyampe la Primi piatti, kami berdua dapat masing-masing sepiring mie goreng.
Verdict Primi Piatti, Mie goreng Indonesiana: 3,5 out of 5 stars
Dengan judul mie goreng, harapanku at least, mie nya sedikit kering, ternyata mie 'goreng' ini mirip mie tumisan (kayak mie aceh minus bumbu mie aceh tentunya) dan rasanya membawaku ke memori mie rebus medan (yumm, itu mie kesukaan gue selain mie ayam). Terus, entah kenapa mie goreng ini aldente, kebayang gak sih makan mie ala indonesia setengah masak alias agak keras alias aldente. Lol. ga habis pikir. Anyhow, Rasanya terbilang oke, Dario mampu menghabiskan setengah piring.
Mie goreng Indonesiana |
Nyam, nyam sembari kami makan, datanglah Capo Sala (semacam orang yg bertugas cek ricek kepuasan pelanggan) yang rupanya juga sang empunya resto. Wajah wanita paruh baya ini sangat tionghua sekali menurutku dan aku percaya 100 persen dia orang Indonesia. Damn.. dan begitu aku tanya (alias nyerocos pake Bahasa Indoesia, " Eh saya orang Indonesia loh.. bla bla bla kepedean) ternyata doi adalah orang jepang dan cuma ngerti "Apa kabar" hahahahhah, aku malu bukan kepalang.
Aku bercerita sedikit dengan si owner yg kebetulan orang jepang ini (in English). Aku bilang, aku rindu sekali makanan Indonesia, dan setelah research google aku ketemu Bali bar and resto dan juga Restoran Borobudur di Genova, sayangnya, lanjutku, Restoran Borobudur sudah ganti platform, sekarang mereka tidak menyediakan 'hanya' makanan Indonesia tapi hampir semua makanan Asia terutama Cina dan Thailand. Dia mengiyakan dan bilang bahwa beberapa customersnya juga mengeluhkan hal yang sama.
Cerita kami diinterupsi dengan datangnya secondi piatti alias second dish. Fabio dengan nasi dan rendang dagingnya sementara aku dapat nasi dengan sate ayam.
Aku sangat luar biasa overexcited, karena di menù tadi tulisannya begini : Satè Ayam Indonesiano, spiedini di pollo marinati con salsa di soya tipica e aromi misti, accompagnati da riso bianco e salsa di arachidi. So, intinya itu ayam dideskripsikan sebagai ayam yang direndam di dalam soy sauce dan beberapa spices, ditemani nasi putih dan saus kacang. Aku senang dong, ketemu resto yang menyediakan saus kacang, sate ayam pake saus kacang kan rasanya ga ada lawan. Eh begitu nyampe, aku bingung loh mana saus kacangnya, sakin penasarannya aku komplain ke waitress bahwa aku gak dapat saus kacang, padahal disebutkan di deskripsi menù. Si waitress malah bilang, itu saus kacangnya udah di ayamnya, ayamnya udah dibumbui kecap manis indonesia dan saus kacang. Lol. aku terkesima, dan langsung menggigit ayam untuk menemukan cita rasa di saus kacang. Nil. Ga ada tanda-tanda hadirnya saus kacang di sate ayam ku.. hiks, I was delusioned.
Sambil makan, dan menyuapi Dario, aku lihat wajah Fabio aneh, dia makan rendang daging yang kelihatan seperti daging sapi rebus dikasih saus kuning di atas.
"Ga enak, schiffo!" Fabio bilang sambil mengerenyitkan dahi
"Masa sih" aku bilang (agak akting, karena dari tampilan itu rendang udah aneh)
"Provi tu!" lanjutnya
"Dai, non è vero" aku bilang, ga mungkin lah, rendang itu ciri khas indonesia, mana boleh mereka salah.
Dan ternyata, it really sucked, ga enak sama sekali dan masih ada aroma sapi. Dari semua makanan, Rendang daging ini yang terparah karena juga tidak edible sama sekali. Untungnya fabio berinisiatif mencampurkan beberapa sendok sambal kecap, jadi setidaknya bau daging bisa tertutupi.
Verdict Secondi piatti : 2 out of 5 stars
***
Ah, rasanya aku ingin teriak, aku ingin komplain betapa restoran ini menyajikan makanan yang tidak ada cita rasa Indonesianya sama sekali, tapi aku sungkan, dan begitu sang pemilik resto datang untuk menanyakan kepuasan kami, aku bilang "abbastanza buono, hehe" dengan senyum sedikit kecut.
Begitu menyelesaikan secondi piatti, kami ditawari berbagai macam jenis dessert khas Indonesia, tapi aku menolak dan membiarkan Fabio pesan hanya espresso. Begitulah, meskipun tdk menemukan cita rasa makanan ibu pertiwi, kami berdua tetap bisa kekenyangan...
Menjelang pamit pulang, aku bergumam dalam hati "Mungkin, jika Tuhan mengizinkan, suatu saat aku ingin buka restoran Indonesia, biar Italia tahu, bahwa makanan Indonesia juga sangat enak dan bergizi." Ah seandainya...
No comments
Post a Comment