Satra Cinta

Sebagai salah satu penggemar Hasan Junus, saya merasa tergelitik dengan artikel sastranya yang satu ini. Sebagai manusia 'mungkin' yang baru dewasa, pencarian akan cinta pasti terasa agak menyesakkan. Definisi cinta masih absurd dalam pandangan saya, bahkan cendrung subjektif dan tereduksi. Disini, pada artikel ini, Hasan Junus menceritakan kembali perihal cinta yang ia klasifikasikan sebagai 'Cinta Seharga Nyawa' yang dialami oleh tokoh cerita pendek O Henry, Behrman, dalam 'Daun Terakhir.' Bagaimana kisah cintanya? Mari kita simak dan resapi, semoga menginspirasi anda sebagaimana ia mengispirasi saya :)

Belajar dari Daun

Benarkah cinta merupakan sesuatu yang sudah tua sekali tapi tak pernah menjadi kuno? Bagaimana pendapat akhir-akhir ini tentang kimia cinta? Penelitian pakar kimia menyebutkan bahwa di otak si pecinta ada senyawa phenylethylamine yang tahannya paling lama cuma empat tahun, Benarkah?

A love story
Benda tua yang pernah kuno bernama cinta itu sosok dan tujuannya cukup beragam. Sebut saja tiga macam. Pertama, yang paling biasa sehingga nilainya tentu saja paling rendah paling bawah ialah cinta dengan tujuan memiliki; pada cinta jenis pertama ini si pecinta pagi-pagi sekali sudah minta kawin, padahal kalau mau mengandaikan cinta  seperti pohon, ia baru saja melihat tegalan dan sudah mau memeluk batang dan bernaung di rimbun daunnya; cinta seperti ini pastilah berumur pendek, dan seperti kain cita murahan dia lekas sekali luntur; seorang antropolog terkenal mengatakan pemasukan cincin di jari pengantin-perempuan akarnya tersimpan di masa lampau melambangkan belenggu atau perantaian. Kedua, jenis yang menginginkan agr sang kekasih dapat mencapai lebih dari dirinya, dapat mengalami dan mengembara di keluasan dunia, imbangan dari kegagalannya sendiri dulu barangkali. Ketiga, jenis yang mengharapkan supaya orang yang dicintainya tidak terpuruk di kubangan dangkal dan kotor padahal dia berbakat untuk berenang  di lautan tak bertepi menentang angin dan gelombang.

Saya perlu menambahkan satu jenis cinta lagi yang amat langka dan berbeda dengan yang telah disebutkan: Cinta seharga Nyawa, seperti yang dialami tokoh cerita pendek O Henry "Daun Terakhir."

Behrman yang telah berusia 60 tahun mungkin menganggap dirinya seperti busur. Ia yang telah lebih dari dua puluh tahun tak berhasil melukis, bahkan menggoreskan suatu garis pun di atas kanvas; ia terpaksa mencari nafkah dengan membuat gambar-gambar iklan. Tujuan keberadaan sebuah busur ialah melesatkan anak-panah agar mencapai sasarannya. Si anak-panah ialah Johnsy Joanna, seorang gadis pelukis  yang sibuk berupaya menemukan jati dirinya. Agar si anak-panah dapat melesat ke sasarannya, gadis yang sedang menderita radang paru-paru harus terus hidup. Melalui Sue, teman sekamarnya, telah disampaikan Johnsy pesan pilu: " Daun penghabisan itu tak boleh gugur sebab begitu dia gugur hidupku pun berakhir." Sepertinya semangat Johnsy terpendam pada sehelai daun anggur yang rapuh di awal musim-dingin yang berangin.

Malam itu ketika salju mulai turun, Behrman sibuk melukis daun di tembok. Besoknya Johnsy menyangka daun yang tinggal  sehelai itu tak jadi gugur, dan harapan memang berperan sekali dalam kehidupan manusia. Johnsy sembuh dari sakitnya. Akan tetapi Behrman yang pada malam itu bersimbah salju dan bermandikan angin kencang terkena radang paru-paru. Ia tak terselamatkan. Busur itu patahlah sudah meskipun masih sempat melepaskan anak-panahnya menuju ke sasaran. Dan lukisan daun anggur di tembok yang menyelamatkan nyawa Johnsy itu merupakan suatu mahakarya: seharga nyawa pembuatnya dan dapat menyelamatkan pula nyawa seseorang yang secara diam-diam dicintainya. Barangkali inilah jenis cinta yang paling tinggi mutunya, cinta yang sengaja tidak diucapkan, sengaja tidak disampaikan, tapi hanya dibuktikan dengan perbuatan.

Daun terakhir dalam cerita itu merupakan sehelai daun cinta. Namun ada pula daun-daun yang bercinta  sebagaimana dikisahkan oleh Issac Bashevis Singer dalam majalah The Atlantic (January 1979). Pengarang berdarah Yahudi kelahiran  Polandia tahun 1904 ini bahkan setelah berimigrasi ke Amerika Serikat terus juga menulis dalam bahasa Yiddish  sampai akhir hayatnya pada tahun 1991. Ia berhasil meraih hadiah nobel kesusastraan pada tahun 1978.

Issac B Singer melukiskan daun-daun yang bercinta sebagai berikut : Setelah dibelasah hujan, dingin malam dan angin kencang maka lerahlah semua daun-daun pohon. masih ada dua helai yang tersisa: Ole dan Trufa. Nasib memang sudah menghendaki begitu: daun-daun lain gugur semua dan yang tinggal cuma mereka berdua. Mereka memang diciptakan untuk saling mencintai, bertahan menghadapi saat yang tepat untuk gugur. Ole tentu tak dapat berbuat banyak untuk menyelematkan Trufa, dan begitu juga sebaliknya. Tapi setiap kali angin kencang datang mereka saling mengatakan. "Bertahanlah kekasihku, bertahanlah terus, tanpa kau hidupku tak mempunyai arti, dan akupun akan segera tewas kalau kau gugur." Mereka hidup penuh dengan harapan karena memang hanya harapanlah yang merupakan pertahanan terakhir untuk dapat bertahan hidup. Namun bagaimanapun saat akhir itupun harus sampai juga akhirnya. Bukan dalam tiupan badai yang ganas, bukan oleh tekanan musim dingin yang berat, tapi pada hari cerah semarak, sealun hembusan sepoi mengantarkan pasangan itu ke tempat abadi.

Karya bermuatan keharuan yang mendalam seyogianya menjadi makan-minum bagi seniman untuk mengasuh kepekaan perasaannya menghadapi kehidupan dan mengalami tantangan di dunia sekarang. Keadaan dunia hari ini yang terus mengeras dan terus pula kehilangan unsur rasa yang dalam dapat saja menyebabkan para seniman kehilangan kepekaan sebagai manusia.

2 comments