Being Muslim in Italy : between Real and Surreal Expectation



Teror yang terjadi di bandara Brussels beberapa waktu ikut menginspirasi tulisan ini. Timeline saya penuh dengan feeds dari channel channel berita internasional yang komentar-komentar pembacanya luar biasa kasar sekali terhadap Islam dan muslim. Tentu ini bukan hal baru, penembakan Charlie Hebdo dan teror di Perancis yang memakan puluhan korban telah menginisiasi Islamophobia ini, bahkan sebenarnya jauh sebelum ini semua. Pelan tapi pasti, stigma yang dilekatkan pada umat Islam sejak kejadian teror berulang dari ISIS berubah menjadi kebencian yang real, easy target jadi sasaran. Serangan terhadap wanita muslim berjilbab dan lansia telah beberapa kali dilaporkan di London, Birmingham dst. Bagaimana dengan di Italia sendiri? itu adalah salah satu pertanyaan yang diajukan keluargaku dan beberapa teman dekat, aku tahu mereka kepo sekali dalam artian postif bahwa mereka mengkhawatirkan keadaanku yang tampaknya jadi 'easy target' juga.

Menarik bahwa sudah lama saya ingin menuliskan perasaan dan pandangan saya selama kurun waktu hampir setahun tinggal di Italia (Utara). Sebagai mantan Mahasiswa Magister Studi Hubungan Internasional sekaligus Int'l Politics enthusiast saya tertarik membahas eksistensi kekinian masyarakat muslim di Italia yang menurut saya tidak seperti apa yang dibayangkan orang. Tak bisa berkaca dari Inggris jika ingin tahu bagaimana muslim Italia diperlakukan, melainkan harus melihat Italia sebagai cermin real bahwa clash itu memang nyata tapi tak sesporadis di negara Eropa lain.

Tulisan ini juga sedikit mereview jurnal yang ditulis oleh Claudio Holzner. Baca disini Re-Birth of Islam in Italy : between Indifference and Intolerance

prayers in Piazza Milan. Courtesy frontpagemag.com

***
Sebelum pindah ke Italia sebagai sebuah keterpaksaan, suami mewanti-wanti bahwa menjadi seorang muslim di Tanah suci umat Katolik bukanlah hal yang mudah, malah akan sangat sulit. Dia beralasan bahwa agama katolik sebagai agama mayoritas di Italia telah juga menjadi sebuah value yang mendarah-daging sehingga ketika dihadapkan dengan nilai-nilai asing, mereka cenderung antipati. Antipati bukan dalam artian membenci tanpa sebab namun menolak menerima kehadiran dan eksistensi nilai-nilai tersebut sehingga berimbas pada pengkotak-kotakan manusia.

Saya belum ngeh maksud suami di atas hingga saya dihadapkan pada sebuah katakan saja diskriminasi halus. Sebenarnya ini sudah saya alami sebelum bertolak ke Italia, tepatnya di Kedutaan besar Italia.

Kami sebagai pasangan beda negara, mempunyai setumpuk dokumen yang harus diurus dan kami sering menunda-nunda hingga Dario lahir dan terdiagnosa CHD ekstrem, tadaa, dokumen tadi mau tidak mau harus diurus ekspress dan seminggu sebelum jadwal keberangkatan kami memohon-mohon konsuler agar proses pengurusan tidak memakan waktu lama karena kondisi anak kami sangat mendesak. Konsuler senior kala itu, seorang napolitana jangkung berambut hitam keriting sempat acuh sekali dan membuat semua proses jadi panjang. Dia berkomentar tentang penampilanku yang berjilbab. Dia nyeletuk "ma vuole davvero andare in giro cosi, col velo in testa?" yang artinya kira-kira : mau kemana dia pake tutup kepala begitu?. Suami pun akhirnya harus menjelaskan panjang lebar dengan bahasa halus yang membuat dia akhirnya menyerah dan bersedia membantu kami.

Saya marah sekaligus sedih, bertanya dalam hati, apa sih hubungannya sehelai kain di kepala dengan urusan dokumen ke Italia dan kenapa pula dia ikut campur atas busana yang saya gunakan, bukankah barat respect sekali dengan kebebasan berekspresi? Pertanyaan bercampur kesal memenuhi kepala tapi tak mampu diucapkan, Ah I thought, can't be this bad there in Italy.

Begitu mendarat pertama kali di Bandara Int'l Marcopolo Tessara juga, saya memang merasakan gelagat aneh security, mereka lebih curiga kepada kami, padahal kami menurutku kami sama sekali tak mencolok, hanya saja saya mengenakan jilbab yang agak panjang. Para petugas itu memeriksa suamiku dengan seksama kemudian menanyainya, begitu tahu bahwa suami adalah warga negara Italia, mereka langsung melepaskan.

Well itu adalah pengalaman personal saya mei tahun lalu. Lantas bagaimana perasaan saya selama setahun tinggal di Eropa tepatnya di negara yang cenderung religius dibandingkan negara Eropa lainnya. Saya bisa bilang bahwa tinggal di sini, di Italia dimana mayoritas masyarakatnya adalah Katolik taat adalah sebuah hal yang cukup membahagiakan, lepas dari semua diskriminasi halus yang saya rasa adalah hal wajar, di Indonesia pun masih ada diskriminasi halus pada kaum minoritas tapi tak sampai pada hal-hal yang membahayakan nyawa. Tinggal di Italia masih jauh lebih baik ketimbang tinggal di Eropa barat menurut saya dimana mereka yang ateis suka menghajar habis-habisan mereka yang beragama dan pada saat ini yang terutama adalah Islam. Orang Italia bukanlah orang Perancis yang gemar sekali 'satire' hingga kebablasan sampai menghina agama dan kepercayaan orang lain. Mereka juga bukan British yang gemar melakukan atraksi dan eksibisi aneh-aneh seperti bertelanjang rame-rame dan semacamnya dan Mereka adalah orang-orang classy yang mencintai hal klasik, hal yang masuk akal juga konservatif, jangan harap negara ini mau melegalkan pernikahan sejenis karena bagaimanapun tololnya mereka, mereka masih beranggapan bahwa keluarga akan selalu terdiri dari Ibu, bapak dan anak.

Sebagai seorang muslim, saya pada awalnya tertantang menyikapi stigma buruk yang waktu itu saya yakin dilekatkan pada muslim di Italia. Ternyata, not that bad , orang Italia sendiri memang agak acuh dengan nilai-nilai asing tapi tak membuat mereka tendesius dan berbuat hal-hal yang membahayakan. Malah mereka cenderung protektif dan respektif. Kedua hal yang saya maksud adalah dalam artian kehidupan sehari-hari, Italians yang mengenal kaum muslim di Italia memang awalnya agak sedikit menjaga jarak, tetapi begitu mereka menjalin hubungan persahatan mereka caring sekali dan sering mengingatkan untuk tetap berpegang teguh pada ajaran agama masing-masing. Mereka respect sekali mengetahui bahwa sahabatnya tidak makan babi dan minum alkohol sehingga ketika ada meeting up biasanya minuman yang disajikan adalah soft drink atau jus dengan makanan Ayam panggang. Secara pribadi, saya juga termasuk beruntung karena keluarga besar suami adalah orang-orang yang toleran dan baik hati meskipun mereka adalah penganut katolik yang taat. Mereka suka bertanya tentang jilbab yang saya gunakan dan memuji cantiknya jilbab yang saya gunakan, juga ketika ada perayaan hari besar mereka suka mengirimi hadiah untuk Dario, seperti hadiah kecil pas natal dan telur coklat ketika paskah, belum termasuk penganan khas hari-hari besar tersebut.

Ada hal menarik yang masih terus saya ingat. Summer tahun lalu, ketika saya menemani anak saya bolak-balik recovery di RS Universitas Padova, saya bertemu dengan seorang cleaning service pria bernama Ashraf, keturunan Maroko, ia dan keluarganya sudah puluhan tahun tinggal di Italia tepatnya di Padova. Saya sangat kepo waktu itu dan bertanya dengan bahasa Inggris (Alhamdulillah dia jago juga bahasa Inggris :D) bagaimana perasaan dia sebagai seorang muslim yang tinggal di Italia. Dia bilang, Alhamdulillah dia tidak pernah mengalami diskriminasi serius dan umumnya sahabat-sahabat orang Italia sangat baik dan peduli namun begitu dia lebih menyukai berteman dengan sesama muslim karena bisa beribadah sama-sama menurutnya lebih asik.

Jawaban ini cukup mengejutkan saya karena tahun 2014 lalu saya dengar major kota Padova membatalkan planning pembangunan mesjid raya di Italia yang sudah di approved sebelumnya, waktu itu beliau dengan semangat berapi-api mengatakan bahwa muslim takkan dibiarkan bebas melakukan aktivitasnya di tanah kristen.

Well, at least, memang betul bahwa kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah dan para pemimpin ter\kadang tidak merepresentasikan sikap masyarakatnya ya...

Kebijakan pemerintah Italia yang diambil terkait muslim di Italia yang mencapai jumlah 2,6 persen dari total populasi secara keseluruhan biasanya lebih bersifat causal dalam artian bergantung pada perkembangan situasi terkini dan juga bagian dari aksi preventif. Kebijakan juga tergantung sekali pada pemerintah daerah masing-masing karena dalam perpolitikan Italia, kebijakan yang menyangkut kemashlatan warga sepenuhnya diserahkan pada pemerintah daerah sehingga hal ini bisa lebih menyalurkan aspirasi rakyat.

Pro Kontra Penggunaan Hijab, Niqab dan Burqa
Pemakaian penutup kepala : hijab, niqab dan burqa pun menjadi sorotan. Sebenarnya secara hukum Italia siapapun tidak boleh menutupi dirinya hingga identitasnya tidak bisa dikenali ketika berada di ruang publik seperti sekolah, rumah sakit, kantor urusan pemerintah dsb. Namun, peraturan ini berbenturan dengan identitas islami yang dibawa migran muslim. Pemakaian niqab dan burqa menjadi sorotan sehingga keluarlah peraturan pelarangan penggunaan burqa (tertutup seluruh tubuh) sedangkan untuk niqab, baru belakangan ini mencuat ke permukaan melalui banyak talkshow di jam-jam primetime. Politisi mendesak pemerintah untuk segera memberlakukan pelarangan penggunaan niqab untuk alasan apapun karena dinilai merepresentasikan nilai-nilai ekstremisme. Tanggapan masyarakat sangat beragam namun secara umum mereka mendukung. Lantas bagaimana dengan penggunaan hijab seperti yang saya pakai?

Hijab yang merupakan penutup kepala yang bukan menjulur ke seluruh tubuh, konon juga diperdebatkan. Beberapa kalangan tetap merasa hal ini perlu dilarang karena bertentangan dengan nilai-nilai katolik, ada yang menarik, ketika isu pelarangan hijab, niqab dan burqa ini mencuat, salah satu mantan menteri Italia , Roberto maroni menyatakan bahwa pelarangan penggunaan jilbab adalah tidak masuk akal karena Virgin Mary (Bunda Maria) juga mengenakan hijab dalam setiap foto juga patung. Maka kemudian banyak pihak yang cenderung diam dan pelarangan hijab masih menjadi wacana saja.

Desember tahun lalu, tanpa tedeng aling-aling region Lombardy mengumumkan pelarangan penggunaan Hijab dengan alasan keamanan. Siapa saja yang memasuki ranah publik wajib melepas penutup kepala untuk bisa dikenali, oleh sebab itu hijab dan niqab sangat dilarang, ujar Simona Bordonali melalui Metro.uk Pada kenyataannya penggunaan tutup kepala memang dilarang di daerah tersebut terkecuali untuk para biarawati yang umumnya jarang bersosialisasi.

courtesy BBC.uk


Pelarangan ini juga secara tidak resmi diikuti oleh daerah-daerah lain termasuk tempat saya sekarang tinggal., San Dona di Piave. Meskipun tak ada peraturan yang mengikat, namun untuk segala pengurusan dokumen izin tinggal dan semacamnya, saya wajib memiliki foto tanpa menggunakan penutup kepala atau mereka tidak akan mau membuatkan ID Card saya. Awalnya saya ngotot sama suami karena ketika di Kedutaan besar Italia di jakarta pun saya ditegur, namun karena urgent untuk membawa anak saya berobat ke Italia, mereka jadi meloloskan saja. Untuk hal ini saya merasa memang agak sedikit di diskriminasi tapi di satu sisi saya juga setuju pelarangan niqab dan Burqa jika memang untuk alasan agar mudah dikenali dan keamanan masyarakat. 

Masjid, Pusat Studi Islam
Pertama kali saya mengenal suami saya yang dulu adalah seorang Katolik, saya langsung kepo tentang Masjid di San Dona, dia bilang masjid di sini sangat berbeda dengan yang di Indonesia. Benar saja, sesampainya saya di Italia pada hari kedua saya langsung meregek minta dibawa ke masjid tersebut. kaget juga ketika tahu bahwa masjidnya adalah sebuah apartmen kecil di kawasan yang agak terpencil. Namanya juga bukan Masjid melainkan Pusat Studi Kultural Islam. 

Waktu itu dengan paksaan saya, kami berhasil sampai di depan pusat studi kultural Islam San Dona dan saya melongok ke dalam sambil mengucapkan Assalamualaikum. Ada suara di ujung dan beberapa saat kemudian seorang pria paruh baya dengan jenggot hitam panjang menjawab salam saya dan kemudian bertanya pada suami apa gerangan yang membuat kami kesini. Ternyata dia adalah imam pusat studi, dan ternyata dia tidak bicara kepada yang bukan muhrim, iya itu saya karena saya wanita, jadi dia bertanya pada suami dan sedikit memberikan kami pencerahan mengenai Ramadhan yang akan segera datang. Sebelum kami beranjak pulang, aku titip pertanyaan pada suamiku untuk imam tersebut, aku bertanya apakah ada jadwal imsakiyah dari pusat studi ini dan apakah ada semacam kegiatan Ramadhan seperti kajian Qur'an dan Shalat tarawih berjamaah. Imam menjawab bahwa mereka tidak diizinkan menerbitkan jadwal semacam itu dan kegiatan Ramadhan hanya untuk kaum lelaki. hah, sirna bayangan saya akan Ramadhan yang syahdu a la Indonesia.

Namun begitu. di Roma ibukota Italia, berdiri megah masjid terbesar di Eropa, Moschea di Roma yang merupakan representasi usaha penghormatan nilai dan budaya Islam di Italia.  InshaAllah kapan saya main ke Roma, akan saya buatkan liputannya :D

courtesy beautifulmosques.com

Komunitas Islam yang ekslusif
Selama tinggal di Italia saya belajar bahwa memang persaudaraan itu lebih kental berdasarkan ras dan etnik. sejak kecil dulu ayah selalu bernasihat bahwa sesama muslim adalah bersaudara dan persaudaraan ini bahkan lebih kental dari sekedar persaudaraan biologis, ras apalagi etnis. Boom, real nya tidak begitu. Berdasarkan apa yang saya rasakan, komunitas Islam di San Dona adalalah komunitas eksklusif negara dan etnik tertentu. Di sini, setidaknya ada 2 pusat Islam yang saya tahu : pusat komunitas Arab dan pusat komunitas muslim India. Mereka tentu saja beribadah di pusat komunitas masing masing, begitu pula dengan keluarganya terutama anak-anak yang diantar mengaji beberapa kali seminggu. Para istri adalah sosok sosok yang misterius, acuh dan tak pernah ikut ke Masjid kecuali jika menemani anak-anaknya mengaji.  Saya punya pengalaman menarik terkait wanita muslim San Dona, dulu masa awal sekali tinggal di sini, saya setiap kali jalan ke Mall kalau lihat yang pakai jilbab, saya suka menyunggingkan senyum tapi belakangan karena senyum tak digubris malah dibalas buang muka, saya pun sudah tak pernah lagi melakukan hal demikian. Malu juga kan, ntar saya dianggap orang gila suka senyum sendiri padahal tadinya mau bersedekah senyuman sama wanita sesama muslim, apa nak dikata, mereka sedang sariawan barangkali :D (just joking)

Anyway, sulit sekali rasanya untuk bisa berbagi ilmu keislaman dengan komunitas di sini karena banyak alasan. Yang pertama mungkin adalah bahwa kurangnya pusat kajian ilmu atau mungkin fiqih yang disediakan, kedua adalah kalaupun ada peminat sangat sedikit sehingga tidak efektif, ketiga ada pelarangan tidak resmi tentang dakwah dan khutbah, contohnya saja beberapa tahun lalu seorang imam di San Dona di usir keluar Italia karena mengkritik Israel dan kebijakan Italia terhadap Israel. Sejak itu, khutbah ditiadakan dan digantikan dengan jadwal mengaji anak-anak. Alasan terakhir mungkin adalah bahwa menghadiri kajian Islami berarti memasukkan diri ke dalam daftar orang yang dicurigai intel, Fyi, Anggota kepolisian Italia tersebar di segala penjuru dan bersosialisasi dengan masyarakat, tentu saja ini adalah sebuah penyamaran. Tujuan hal ini adalah menangkap basah para kriminal, baik pengedar obat-obatan, dan juga (katanya) ekstremis Islam, so sebenarnya kita takkan pernah tahu apakah teman di yang kita temui di Pusat Studi kultural Islam San dona adalah polisi atau bukan, berkaca dari kejadian yang menimpa Imam San Dona di atas.

So far, kesimpulan saya sebagai seorang muslim yang tinggal di Italia, Italia bukankah tempat yang sangat menakutkan untuk muslim bisa hidup sambil beribadah hanya saja butuh hati yang luas untuk menerima bahwa semua itu tidak mudah apalagi dengan berbagai citra miring yang dilekatkan pada Islam belakangan ini. Ya, memang tidak bisa dengan leluasa shalat jumat apalagi shalat tarawih dan mendengar ceramah ramadhan layaknya di Indonesia tapi ini artinya ini adalah motivasi tersendiri untuk lebih banyak mengaji dan belajar sendiri di rumah barangkali. Perlu diingat bahwa di Italia muslim adalah minoritas oleh sebab itu bersikaplah seperti minoritas, asal hak dan kewajiban bisa terpenuhi rasanya tidak perlu ngeyel untuk kemudian minta hak macam-macam karena harus berkaca juga pada umat Kristen yang tinggal di Timur Tengah yang pasti perasaan minoritasnya persis seperti ini.

Ada jurnal yang menarik yang saya baca yang juga kemudian menginspirasi tulisan ini. Sebuah jurnal dari Claudio Holzner yang berjudul Re-birth of Islam in Italy. Dari jurnal ini saya mendapati fakta bahwa kehidupan umat muslim di Italia tidak mudah sama sekali dan sering dihadapkan pada intoleransi dan sikap acuh tak acuh. Tentu saja jurnal ini adalah hasil research beliau tentang umat muslim yang tinggal di Italia terutama di Italia selatan di mana imigran sering membanjiri kota-kota di sana. Beliau juga memaparkan keadaan di Mazara de Vallo, Sicilia ( italia selatan) di mana Islam memiliki akar yang kuat karena daerah tersebut sempat menjadi bagian dari kekhalifahan islam selama 200 tahun sebelum Pangeran Normandia, Roger I menghabisi tentara muslim terakhir dan berhasil merebut wilayah ini.

Kini, Mazara menurut beliau adalah kota Italia yang paling Islami (Arab) karena dihuni oleh 6000 muslim, namun ini tak berbanding lurus dengan perlakuan yang diterima. Beliau menjelaskan bahwa umat muslim masih menghadapi intoleransi, sikap acuh juga tatapan tajam nan dingin. Mereka belum bisa beribadah dengan leluasa tanpa dihadapkan dengan pandangan xenophobic Italian. Warga muslim juga kesulitan untuk hidup karena tak pernah mendapatkan pekerjaan yang layak dan permanen, lebih lanjut lagi menurut Holzner, Pemerintah Italia belum cukup sigap untuk menengahi kondisi tersebut dan masih cenderung lamban meskipun pemberitaan sudah cukup banyak.

Menurut saya, apa yang dikemukakan Holzner adalah benar adanya, bahwa muslim belum cukup leluasa untuk bisa hidup dan beribadah di Italia namun hal ini disebabkan banyak hal. Seperti yang saya kemukakan di atas bahwa orang Italia adalah orang yang sangat menghargai nilai-nilai dan budayanya sehingga menjadikan mereka agak antipati dengan nilai-nilai dan budaya asing sehingga mereka cenderung menjauh dan berharap yang 'asing' tersebut mau berasimilasi. For this, saya memang yakin bahwa mau bagaimanapun takkan ada yang bisa mencegah sinisme satu sama lain di antara kedua budaya dan nilai yang berbeda ini, kita semua tahu bahwa Arab juga sangat menghargai nilai dan budayanya, mereka juga takkan mau berasimilasi. Meski begitu, pemerintah Italia sudah mulai melonggarkan peraturan untuk pembangunan tempat masjid dan pusat studi Islam. Tambahan lagi kompleksitas masalah migran ilegal yang terus membanjiri Italia, dan kemudian migran dijaminkan pemerintah untuk bisa hidup dan bekerja (peraturan ini memang ada, tp realisasinya jauh dari sempurna) sehingga memunculkan kecemburuan di kalangan penduduk lokal sendiri. 

Saya, melalui tulisan ini, tetap berpegang teguh pada positivisme bahwa toleransi bisa dicapai jika kedua belah pihak mau saling merangkul dan lebih fokus kepada persamaan ketimbang perbedaan. Tentu ini merupakan proses yang panjang dan lama sama persis seperti di Tanah Air tepatnya di Ambon, di mana clash antara Islam-Kristen masih saja kadang terjadi, bedanya dengan Italia bahwa di sini clash-nya tidak sampai berdarah-darah, hanya perang dingin saja.

Saya yang dulunya berada pada sisi mayoritas sebagai seorang muslim di Indonesia, kini merasakan berada di posisi minoritas yang tentu saja kehilangan banyak privilege. Tapi saya banyak belajar bahwa perbedaan itu indah dan saya tak boleh cengeng hanya karena saya minoritas. Tetap lakukan yang terbaik dengan hak yang dimiliki dan tak perlu mencari-cari kesalahan pihak manapun. Dunia akan lebih indah jika kita tahu dan melakukan peran masing-masing.



8 comments

  1. Sedih sama banyaknya anggapan keliru terhadap Islam :(

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya mbak rin, betul.. lebih gila lagi di dunia barat, tapi begitupun kita tetap harus sabar dan menunjukkan akhlakul karimah dari muslim, dan juga terus berbenah diri ya mbak rin.. makasih udah mampir :D

      Delete
  2. Subhanallah Mba, semoga istiqomah selalu ya. Artikel ini semacam pengingat dan penyemangat bagi saya yg tinggal di tanah air namun masih belum bersyukur dengan apa yang ada dimana beribadah bisa dengan mudah.

    Semoga Mba & keluarga selalu dlm lindungan Allah swt, aamiin.

    ReplyDelete
  3. Hi mbak desy, terimakasih sudah mampir mbak. Iya berat mbak, uhuhu jadi kangen tanah air ni apalagi jelang Ramadhan. Sedih juga di tanah air kemarin ada kasak kusuk tentang adzan ya, aduh saya rindu banget sm suara adzan spt di tanah air. Betul mbak, kita ga sadar betapa berarti sesuatu sblm kita kehilangan ya.. :(

    ReplyDelete
  4. Justru karena disana bau bau islam 'susah dicari' biasanya sang individu jauh lebih semangat belajar dari pada disini yang 'gampang banget' malah terkesan menyepelekan :). Jadi inget pas di Bali hehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hi mbak inuel, betulnya kebangetan.. terimakasih sudah singgah :D

      Delete
  5. Akhirnya kelar juga bacanya…
    Ya rabb…
    Semoga proses panjangnya dapat membuahkan hasil yah mbak…
    Dan mereka juga tak memandang dg sinisme agama Islam
    Tetap semangat mbak.e ^_^

    ReplyDelete