To veil or not to veil : An Honest Note for Being Muslimah in The West




Saya percaya, religiusitas adalah  domain private. Tak ada satu orang pun di dunia ini yang bisa merasakan pengalaman religius yang sama, karena perasaan itu transendens, beyond words. Saya seorang muslim, yang dibesarkan di dalam lingkungan keagamaan moderat selalu diajarkan tentang pentingnya menutup aurat dan berhijab. Ayah saya yg seorang muhammadiyah sangat keras sekali akan peraturan ini. Dulu, ketika saya masih menginjak bangku sekolah dasar tahun pertama, Ayah nampaknya gusar dan akhirnya tahun ketiga memindahkan saya dan asik-adik ke sekolah Muhammadiyah yang semua muridnya berhijab. Kala itu, saya tak mengerti arti sehelai kain penutup kepala saya, buat saya dan adik saya, hal ini adalah sekadar dresscode.

Setelah 19 tahun menggunakan hijab, melewati berbagai fase remaja, fase mode hingga fase syar'i sekarang ini sedikit banyak memberi saya pencerahan, bahwa hijab yang konon dulunya di anggap sangat ketinggalan, sekarang malah menjadi salah satu fashion style hingga couture internasional. Saya bahagia, merasa bahwa hal ini akan memudahkan muslimah untuk menjadi diri sendiri sekaligus menjadi hamba Allah yang taat.

Bahagia, bangga sebagai muslimah dengan hijabi identity turut mengantarkan saya ke Italia. Meskipun alasan kepindahan saya sebenarnya adalah alasan personal, emosional dan medikal anak saya, saya dengan sangat berbangga hati hidup berdampingan dengan mereka yang kristen, sekuler, agnostik juga atheist. Kala itu saya memiliki keyakinan bahwa mereka akan menerima saya tanpa melihat baju dan hijab yang saya pakai, bahwa mereka akan memperlakukan saya LEBIH baik karena saya menutup aurat. Ternyata saya salah, sangat salah. Terlepas dari easy going-nya mereka, namun satu hal, jilbab hijab dan niqab masih menjadi hal tabu, kerap menjadi bahan olok-olok serta berbau migran dan teroris. Tentu semua ini tidak benar, sangat salah bahwa Islam diidentikkan dgn hal-hal negatif dan rasis adalah hal yang intoleran dan bertolak belakang dgn nilai-nilai 'Freedom' dunia barat.

Lantas di mana posisi saya? sebagai seorang pendatang, meskipun beruntung memiliki suami seorang Italian, saya masih dituntut untuk menerima nilai-nilai dan norma di Italia. Italians adalah masyarakat konservatif, dengan budaya kristen yg kuat dan mereka termasuk masyarakat paling religius di Eropa. Secara tidak langsung ada tekanan tekanan tertentu atas bagaimana orang lain (baca:asing) bersikap dan membawa diri di sini. Tentu tak ada tindakan frontal seperti yg terjadi di Amerika di mana seorang pria menjambak dan mencopot jilbab muslimah secara paksa di atas pesawat, namun di sini anda tahu bahwa ketika anda hendak berurusan dgn Kantor Urusan Sipil, anda tidak akan dilayani kecuali jilbab dilepas dan baru-baru ini, keluarlah peraturan bahwa untuk memasuki area publik dan juga rumah sakit harus tanpa penutup kepala, atau tidak akan dilayani.

Bagaimana saya bersikap? Awalnya saya resistan sambil berharap tak ada sikap diskriminatif yg saya dan keluarga terima karena jilbab yg saya kenakan. Semua ejekan, tatapan penuh amarah dan penolakan saya anggap angin lalu dan saya berdoa dalam hati agar mereka tidak memperhatikan gerak-gerik saya. Hal ini hanya bertahan hingga winter pertama saya di San Dona.

Pasca Terorisme Brussels, kondisi semakin membuat saya takut dan hal ini berawal dari kegusaran saya Musim Gugur yg lalu ketika kami hendak duduk dan minum secangkir teh juga pastry di sebuah Caffeteria. Kami duduk di dalam dan waiter jg waitress melihat kami namun urung untuk bertanya kami ingin pesan apa. 40 menit berlalu, suami sudah hendak langsung memesan saja dgn mendatangi meja utama Caffeteria, tapi saya bilang tidak perlu krn mungkin mereka gak suka kita di sini, dari tadi saya dgr bisik bisik juga beberapa aura ketidaksukaan.

Caffeteria mungkin tidak ingin menerima kami, tapi Supermarket tidak mungkin bersikap yg sama, mereka tak ingin kehilangan pelanggan utk alasan apapun, inilah pemikiran saya waktu itu. Lagi lagi saya salah.
Hari itu, saya pergi berbelanja dengan anak dan suami. Selesai keliling, memasukkan barang ke trolley kami siap untuk ke self-service checkout (SACAT) . Selesai semua, kami tinggal pulang. Tiba tiba, seorang security menghampiri saya dan memeriksa saya dgn metal detektor. Astaghfirullah, sungguh keterlaluan, mereka pasti berpikir saya memiliki benda mencurigakan atau paling tidak tindakan ini didasari Islamophobia. Fyi, standar ini hanya berlaku untuk kalangan tertentu contohnya muslim dan orang asing dan tak ada landasan hukum yang mendasarinya. Suami saya tak mampu berkata-kata. Kamipun akhirnya pulang, membawa sejuta perasaan campur aduk, sedih, marah juga takut. We dont expect my hijab could cost us this kinda acts.

Saya mulai berpikir bahwa saya akan melepas jilbab saja, dan karena ini adalah winter, saya akan beraktivitas dgn menggunakan topi dan syal tebal. Ketika Musim dingin mulai membuat kondisi Dario memburuk, saya menjaga dia di rumah sakit dgn tidak menggunakan jilbab, untuk pertama kalinya di dalam hidup saya, saya membiarkan orang asing melihat rambut ikal saya terurai. Ada penyesalan di sana, ada kelegaan juga.

Saya tidak mengerti apa yg saya rasakan, tapi begitulah hidup.. perubahan datang tanpa secara penuh kita sadari..

Sejak itu hingga sekarang, saya tak lagi menggunakan hijab...

Kemudian, hal tersulit yang harus saya lakukan adalah untuk jujur kepada orang-orang yg mengenal saya, baik secara casual, professional maupun personal. Melepas hijab bagi saya adalah hal tersulit untuk saya terima dan saya yakin mereka juga begitu. Akan banyak keterkejutan, komentar dan juga yang tidak bisa dihindari, penghakiman. Saya sadar betul posisi saya di mata mereka, namun mungkin mereka tidak begitu mengerti posisi saya yang berada di Barat, sebagai seorang ibu, seorang wanita yang mengalami 'culture clash dan emotional clash' yang mencoba bertahan untuk alasan apapun agar anaknya bisa tetap hidup.

Above all, hanya Tuhan yang berhak menghakimi, bukan manusia, dan saya harap kita bisa mengerti bahwa semua orang memiliki pertimbangan masing-masing untuk dirinya, memaksakan pilihan pribadi kepada orang lain meskipun untuk tujuan yang baik bukanlah hal yang bijak karena 'We won't be able to be objective to judge the situation we've never been in'

Salam

The Place I call HOME p.2 : When what you want isn't what you need


Being away from home could actually change the perspective you have of yourself... Some people call it self-deprived, some cheered for its serendipity.


Never have I thought I would be moving away from home given the fact I was willing to build my own business due to an endlessly exhausting job as a teacher and a trainer. Long before I met my husband, I foresaw myself having an avant-garde restaurant which most of the menu I made from my creativity, don't get me wrong I was only a dreamer that time that I had no idea how to make it true, I just tryna listen to my inner voice, that I don't fit an office environment and I can't stand some personalities who intentionally stab me to my deepest bone and left such big scar and trauma.

I am no sensible person, yet I am sensitive, but being away from my comfort zone truly give a hit. I was challenged to be less sensitive, then less sensible, then lil' bit ignorant, It's not for 'looking cool' kinda reason instead for giving a peace to self because since I moved to Italy, rejections and heartaches aren't particular to me. I dare myself to be more self-centered as my life's goal now is making my son's condition improved, heck others who never showed up in my difficult times

Sometimes, I sit at the park facing my boy playing and mumbling and all of sudden I start to cry. How I miss being in my hometown but I know it isn't what I need now, I just can't help this feeling of wanting to be there.

My husband constantly reminds me that we are so lucky to be here, the fact that I don't have family and friends that I could ask a simple favor won't really matter for him. He said "finally you've got to learn to be independent, no more whining no more clinging to others to hold your feet. Pull yourself together, he added. Now, it's only you, me and Dario, else won't matter.

Two Culture Collide
Long before getting married, my husband and I have settled the goal that we're going to raise Dario in Indonesia as he needs to learn about Islam, to become a good Muslim, something that my husband misses from himself coz he is a muallaf.. but the destiny prevailed itself right in front of our face that Dario has to be raised in Italy, a country which Islam is a minority and where having a Muslim identity can cost you a life.
Here we are, trying to fix his heart and set aside the education we once dreamt to have for him. I guess the saying got its right, "let something to happen, worrying will not change the past nor the future, it'll only burden the present"

At the end what really matter is that you can hold tight your beloved ones, the world around will keep persistently pushing you to the limit and force you to admit 'I wanna freaking be there!" but here goes the inner voice " hold on dear, what you need now is here and you won't always get what you want to.."