Fake it 'Till you Make it : The Power to Get it Through


You don't know how strong you are
Until being strong is your only choice...
~ unknown

***
Beberapa waktu yg lalu, saya terjaga di tengah malam dan seperti biasa sulit untuk terlelap kembali dan memutuskan untuk membaca sesuatu, apa saja, dan biasanya saya cek laman facebook dan mengklik beberapa tautan untuk membaca lebih lanjut. Kali ini berbeda, saya tertarik membuka postingan dari grup 'Heart Family Group' grup yang baru saya ikuti beberapa minggu yang lalu. Saya terhenyak dengan sebuah postingan seorang Ibu dari Inggris yang sedang putus asa menghadapi open heart surgery anaknya yang akan segera dilaksanakan. Dia mengaku sangat takut tapi juga tidak yakin apa yang harus dilakukan.



Pikiran saya melayang ke masa lalu, Setahun lalu yang penuh ketanyaan, tangisan, jeritan kehampaan hingga pikiran menginginkan kematian menghantui lagi. Ya setahun yang lalu saya juga memiliki concern yang sama dengan ibu di atas, hanya saja saya tak pernah mengungkapkannya. Saya memilih untuk masuk ke zona isolasi diri sejak Dario terdiagnosa CHD, jangan harap bisa chat dengan saya, bahkan saya pun mematikan telp genggam untuk  bisa mendapatkan 'peaceful moment'

Dulu, ketika mama saya bercerita tentang anak sahabatnya yang menderita lubang di jantungnya, saya sudah merinding membayangkan ketakutan dan kesedihan yang pasti menghajar sahabat mama itu habis-habisan. Menghajar dalam artian mental : kepahitan demi kepahitan yang bercampur dengan aura realistis dan negative thinking, Ah saya yakin kalau saya di posisi ibu itu mungkin saya sudah mati karena menahan sedih.

Ternyata tidak begitu, saya tak serapuh yang saya bayangkan. Ketakutan yang tadinya saya pikir akan membuat saya gila malah membuat saya semakin waras, serta kesedihan yang membuat saya ingin mati malah membuat saya ingin hidup lebih lama dan melihat bagaimana semua akan berakhir.

Lantas apakah semua sesederhana itu? hanya memeluk ketakutan dan kesedihan yang di depan mata? sure no, dimana mana teori itu lebih mudah daripada prakteknya tapi satu hal yang pasti pengalaman lah yang mengajarkan kita cara mengaplikasikannya. Jadi saya yakin sekali 100 persen, bahwa bagaimanapun seseorang menjelaskan cara ia bertahan atas sesuatu yang sangat menyedihkan dalam hidupnya kepda orang lain, orang lain tersebut takkan pernah merasakan hal yg sama sampai ketika hal tersebut menimpanya.It's real : you gotta face it to know what it feels.

Hal-hal yang menyakitkan itu datang dari dalam : dorongan impulsif yang mengatakan bahwa derita atau hal buruk yang menimpa orang-orang yang kita kasihi adalah hal yang paling menyedihkan di dunia, tak peduli orang lain mengalami apapun, yg paling menyedihkan adalah kesedihan kita, then we have nothing to do but to cope with that sadness in our own way, because it is inside us where others can't access it.

To be honest, I have tons of reasons to complain about my life yet I find it useless to even talk about it. Saya suka menyayangkan beberapa pihak yang suka komplain dengan hidupnya atau dengan hal-hal yang dia tidak punya atau juga hal-hal yang seharusnya dimiliki anaknya, saya membatin seraya berbisik pada diri sendiri, coba saja jika dia mau berjalan-jalan ke ruangan NICU untuk melihat para orangtua yang matanya sembab karena airmata yg kerap tumpah karena tak bisa menggendong anaknya, atau berkeliling di ruangan PICU untuk melihat betapa banyak doa yang dipanjatkan untuk kesembuhan buah hatinya, dia akan sadar betapa beruntungnya memiliki anak yang sehat.

Hei, anak sehat saja, adalah sebuah kesyukuran, bukan ketidakmampuan membeli benda-benda tangible tertentu yang harusnya membuat sedih dan galau. Benda-benda itu tak ada artinya sama sekali kalau orang terkasih sakit, dirawat dengan berbagai macam prosedur-prosedur medis. Kesyukuran memang tak bisa dipaksa tapi harusnya auranya bisa menular, ketika seorang kawan bercerita tentang anaknya yang sedang tidak enak badan, harusnya dari dalam diri muncul perasaan : Alhamdulillah, terimakasih Tuhan sudah menganugerahkan berkah kesehatan kepada seluruh keluarga bukan memberatkan diri sendiri dengan berkata, aduh harus segera beli stroller baru ni, yg lama sudah outdated banget.

Menjadi ibu sekaligus wanita yang memang tidak mudah. Kerapuhan adalah nama tengah kita dan ketika hal ini menyerang, pasti terbesit keinginan untuk mengakhiri semuanya. But no, hati pasti berbisik bahwa ketika semua masih kacau, bagian ini bukanlah akhir cerita melainkan sebuah klimaks. Mirip plot karya sastra memang, karena karya sastra juga adalah representasi alur kehidupan. Mengakhiri juga bukan sebuah solusi. keluarga yg ditinggalkan akan terbebani secara mental dan juga untuk diri sendiri ini berarti menyerah. Tuhan tak mungkin mengirimkan manusia ke dunia untuk hidup dan lantas mati tanpa berusaha dan berjuang untuk hidupnya. Hidup itu butuh perjuangan, dan setiap orang memiliki perjuangan dan medan tempur yang berbeda, hanya saja setiap orang memandang perjuangannya lebih berat padahal ini adalah subjektifitas. Ketika anda berada di ambang batas kewarasan karena ditimpuk cobaan berkali-kali, maka sulit untuk memandang segala hal dengan objektif.

Saat cobaan menghajar, hal terbaik yang harus dilakukan adalah berpura-pura tegar, berpura-pura kuat, tersenyum paksa meski meringis dan membatin di dalam hati. Trust me, it works! by doing this, kita mengirimkan impuls ke otak untuk tidak mengenali peristiwa ini sebagai hal yg luar biasa menyakitkan dan kemudian beban terasa lebih ringan. Fake it till you make it! Bahkan secara ilmiah ini juga terbukti, faking smiles during hard times can actually making your brain less damaged by the current saddest event in your life and it really can make you through the day!

San Dona' di Piave
9 Maggio 2016

No comments

Post a Comment