The Place I call HOME : Throwback to The Life-Changing Event p.1



Coz home is where your heart is...




Tanggal 28 Mei 2016 lalu, tepat setahun aku menginjakkan kaki di San Dona' di Piave -Venezia. Aku dan suami mengubur mimpi kami untuk memiliki sebuah restoran Italia otentik di Pekanbaru dan memutuskan pindah ke Italia. Bukan hal mudah atau tepatnya adalah pilihan yang teramat sulit mengingat kami sudah mencurahkan segala upaya baik mental dan fiskal untuk pembangunan restoran yang tadinya akan berdampingan dengan rumah tipe 54++ kami. Keputusan ini adalah keputusan dadakan dan merupakan pertaruhan hidup dan mati buah hati. Sejak ia didignosa memiliki PJB ekstrem dan chromosomal disorder kami langsung menyimpulkan bahwa berkeras untuk tinggal di tanah air adalah sebuah kesia-siaan.

Tulisan ini adalah sebuah napak tilas setahun lalu, a throwback. Kronologis sebelum dan sesudah kami sampai di Italia. Juga sebuah tulisan tentang usaha tanpa batas yang kami lakukan untuk memastikan Dario bisa terus hidup dan bisa tumbuh dan berkembang selayaknya anak seusianya.

Pasca kembali untuk yang kedua kali ke Institut Jantung Negara (IJN) Kuala Lumpur, Dario dinyatakan cukup stabil setidaknya dalam beberapa bulan dengan bantuan obat-obatan. Kondisi sesak, nafas cepat dan nafas yang berbunyi memang tidak bisa dielakkan dan Tim dokter IJN juga Eka Hospital Pekanbaru tak tahu pasti mengapa Dario masih saja mengalami naik-turun pasca pemasangan Central-Shunt Maret 2015.

Dengan berat hati kami bertanya pada Dr.Hasri selaku cardiologist Dario, apakah kami bisa membawa Dario ke Italia dengan durasi penerbangan 16 jam. Dr. Hasri menarik nafas panjang dan menyatakan bahwa kemungkinannya adalah 50:50. Terbang dengan anak umur 4bulan apalagi dengan kondisi medis yang sangat berat bisa berakibat fatal terutama karena altitude dan kemungkinan berkurangnya pasokan oksigen ke Paru-paru. Dr. Hasri mengungkapkan bahwa sebaiknya kami melakukan medical evakuasi ke Italia. Kami menolak karena tahu pasti biaya fantastis yang harus dikeluarkan. Kondisi finansial sungguh tak bisa lagi diharapkan dan satu-satunya yang bisa kami lakukan adalah membawa Dario terbang dengan penerbangan komersial biasa dan menanggung segala resiko.

Dr.Hasri tak memberikan surat keterangan layak terbang ke Italia untuk Dario melainkan surat layak terbang untuk pulang ke Pekanbaru.

Sesampainya di Pekanbaru, kami bergegas packing, menjual dan memberikan barang-barang kepada kerabat serta teman. Membawa pakaian dan uang seadanya karena kami yakin perjalanan ini sejatinya adalah moving on.. We aren't willing to take lots of things to bring back those sad memories.

Entah kami akan berhasil menyelamatkan Dario, Entah kami akan menyesali hal ini, satu yang pasti bahwa terkadang dalam hidup kita harus bertaruh. Taking a risk is equally as risky as to Letting it be.

Planning kami sebenarnya adalah sampai di Italia sebelum minggu keempat bulan Mei. Apa daya manusia hanya bisa berencana namun Tuhan yang senantiasa mengatur segalanya. Penerbangan kami dari Pekanbaru-Jkt ditunda selama seminggu karena ketika hendak berangkat Dario muntah muntah serta kolik dan otoritas medis bandara tidak mengizinkan kami berangkat. Akhirnya kami mengalah dan memutuskan untuk menikmati minggu terakhir di Pekanbaru dengan bertemu dan berpamitan dengan keluarga dan sahabat. Kami juga bertandang sekali lagi ke Dokter spesialis anak yang dari awal menangani Dario, Dr. Oyong dari RS Syafira Pekanbaru. Bukan hanya karena ingin mengucapkan terimakasih dan selamat tinggal, kami juga ingin mendapatkan Surat Layak terbang untuk Dario.

Kami menghabiskan 3 hari di Jakarta untuk mengurus segala keperluan dokumen : Visa untukku, Paspor Dario dan setumpuk dokumen lain lain. Normalnya, butuh waktu 2 minggu untuk menerbitkan Paspor kewarganegaraan Italia di Kedutaan Besar Italia. Namun, aku memelas dan membujuk serta menangis terisak-isak mengharapkan otoritas Kedutaan menerbitkan Paspor itu lebih cepat untuk alasan kemanusiaan. Alhamdulillah, masih banyak hati yang penuh kasih untuk bisa mengenali betapa 'urgent' nya situasi kami.

28 Mei 2015

Kami berangkat tengah malam, tentunya karena semua penerbangan ke Eropa selalu dimulai dini hari. Dengan memakai baju ala kadarnya, aku menggendong Dario dengan Kain Panjang. Sandal jepit adalah sebuah penolong, dengannya aku bisa dengan sigap mengejar langkah seribu suamiku yang sayangnya harus membawa semua luggage sendirian. Oh, andai aku bisa mencampakkan beberapa brang-barang dari koper yang kami bawa tapi aku sadar tak ada lagi hal 'tidak penting' yang tersisa di koper-koper maha besar itu. Semuanya adalah barang-barang esensial, disortir dengan penuh kegalauan dan air mata.

Check in
Aku sudah mewanti-wanti suamiku untuk tidak mengungkapkan bahwa anak kami memiliki kondisi jantung 'impaired'. Sayangnya wanti-wanti itu lupa aku terapkan pada diri sendiri. Ketika mengobrol dengan staf bandara mengenai banyaknya barang bawaan kami, staf itu melihat NGT yang terpasang di hidung Dario. Lantas staf itu berbisik ke staf di sebelahnya dan mereka berdua menemui penanggung jawab staf boarding.

50 menit sebelum Boarding
Aku dipanggil seorang staf wanita dan dia menanyakan ada apa dengan anakku. Langsung terucap dari mulutku yang ember ini bahwa dia mempunyai penyakit jantung bawaan tapi telah dioperasi di KL. Dia lanjut menayakan apakah aku sudah mendapatkan izin terbang dari Dokter terkait kondisi Dario. Aku mengiyakan dan lantas menyodorkan surat layak terbang dari Dr. Oyong.
"Maaf ibu, pada penerbangan Internasional surat layak terbangnya harus dalam bahasa Inggris!"
(Goblok, tentu saja!!) Aku pun mengatakan bahwa hanya ini yang aku punya, dan penerbangan ini adalah misi penyelamatan anakku (mataku sudah hampir penuh dengan air mata)
"Maaf ibu, mari ikut saya!"
Aku pun diminta untuk mengikuti wanita ini. Tempat yang kami tuju cukup jauh dan dalam hati aku berdoa semoga Allah memudahkan penerbangan ini, semoga Allah melembutkan hati para staf dan otoritas penerbangan dan mengizinkan kami untuk terbang.
Sayup-sayup aku mendengar panggilan masuk pesawat untuk penerbangan Qatar Airways JKT- DOHA ---Telpon genggamku pun terus bergetar, aku yakin itu pasti suamiku yang menunggu kami dengan gelisah karena aku pergi saat dia sedang sibuk mengurus koper-koper kami.
10 menit berjalan, kami sampai di kantor Otoritas Medis Bandara Soekarno-Hatta. Aku langsung histeris, Dokter yang bertugas di kantor itu langsung mengusap punggungku dan kami menangis bersama.
"Dok, anak saya memiliki penyakit Jantung bawaan dan penerbangan ini adalah satu-satunya jalan agar dia bisa selamat dok! Saya mohon dok, Tolonglah!"
"Ibu, tapi kondisi dedeknya bagaimana? apa ibu yakin tidak akan ada masalah selama penerbangan? 16 jam loh ibu, apa ibu tidak takut?" Ucapnya berat
"Gak dok, saya lebih takut kalau saya stay dok, saya ga tahu harus apa lagi dok, saya ga punya apapun lagi!"
Dokter itupun langsung meminta asistennya untuk mengambil form layak terbang dan menanyakan detail kondisi Dario.
Sebelum beranjak pergi, aku memeluk dokter itu. Ya, dia adalah seorang wanita dan aku yakin dia paham kondisiku. Berbekal surat layak terbang itu, aku bergegas dan berlari-lari kecil menemui suamiku di ruang check in. Aku melihat sekilas jam tanganku : 00.15 am
Raut wajahnya sangat sedih, matanya basah. Aku yakin suamiku habis menangis karena tak yakin lagi kami bisa berangkat. Penerbangan ini sangat berarti, every minutes count especially for Dario

"Where have you been?" tanyanya
"I've talked to that lady and she gave me this paper, now we go!"
Kami langsung berlari menuju gate pesawat. Betul saja, hanya beberapa orang lagi masuk dan tentu saja dengan tergesa-gesa.

00.25
Pintu pesawat sudah ditutup, tapi aku masih sibuk dengan hal tetek bengek. Feeding bag, juga medicine bag sudah berantakan, isinya agak kacau karena dibawa berlari tadi. Nafasku masih cepat, jantungku rasanya mau copot dan seakan aku tak percaya kami bisa berangkat.
I closed my eyes and took a deep breath. Dario masih di kain gendonganku, dan dia masih tertidur pulas, Alhamdulillah anakku tak harus merasakan kacaunya perasaanku kala itu.

00.30
Took off
Pesawat pelan-pelan mulai bergerak, makin lama makin kencang. Tangisku pecah. Aku histeris, sungguh tak percaya kami akhirnya bisa berangkat. Aku membuka telp genggamku dan melihat banyak misscalled. It's my mom! I am really sorry that i didnt pick the phone call. I was too overwhelmed. Maaf mak!

That New Place with its scent of Summer Jasmine and Rose

Kami sampai di Marcopolo Airport setengah jam sebelum pukul 5 sore hari, tentu badan terasa sangat letih karena itu artinya sudah pukul 10 malam waktu tanah air. Penerbangan alhamdulillah berlangsung mulus..tak ada turbulence berarti meskipun jujur saja saya tak banyak merasakannya. Sepanjang penerbangan, Dario tak mau banyak tidur, dia menangis tapi tidak sporadis, mungkin karena lampu kabin dimatikan, dia tak pernah tidur tanpa dalam keadaan gelap sebelumnya.

Sungguh sebuah pengalaman yang menakjubkan, sepanjang penerbangan saya menggendong Dario kesana kemari melewati area hostess dan bolak balik ke seat kami. Saya yang sebelumnya saja tak pernah berjalan di koridor pesawat bahkan jika ingin ke kamar mandi, entah kenapa bisa sanggup menggendong Dario mondar-mandir bahkan kadang dengan turbulence yang membuat saya kehilangan pijakan. God gave me strength outta nowhere.

28 May, Hari itu benar-benar bersejarah. Akhirnya beban terasa lebih ringan karena tahu bahwa Dario berada di tempat yang tepat. Semilir angin penhujung musim semi membawa aroma jasmine dan rose. Ah, pertama kalinya dalam beberapa bulan aku merasakan sedikit kenyamanan dan perasaan lega.

San Dona adalah kota kecil yang berjarak 40 menit dari Kota turistik Venice, 30 menit dari Marcopolo Airport Tessera dan 60 menit dari Centro Galucci (cardiopathy centre) Rumah Sakit Universitas Padova. Kota ini menjanjikan kami sebuah harapan, harapan untuk Dario bisa sembuh dan tumbuh kembang seperti anak-anak lain. Mulai sekarang, ini adalah rumah kami. We call it home.

Fake it 'Till you Make it : The Power to Get it Through


You don't know how strong you are
Until being strong is your only choice...
~ unknown

***
Beberapa waktu yg lalu, saya terjaga di tengah malam dan seperti biasa sulit untuk terlelap kembali dan memutuskan untuk membaca sesuatu, apa saja, dan biasanya saya cek laman facebook dan mengklik beberapa tautan untuk membaca lebih lanjut. Kali ini berbeda, saya tertarik membuka postingan dari grup 'Heart Family Group' grup yang baru saya ikuti beberapa minggu yang lalu. Saya terhenyak dengan sebuah postingan seorang Ibu dari Inggris yang sedang putus asa menghadapi open heart surgery anaknya yang akan segera dilaksanakan. Dia mengaku sangat takut tapi juga tidak yakin apa yang harus dilakukan.



Pikiran saya melayang ke masa lalu, Setahun lalu yang penuh ketanyaan, tangisan, jeritan kehampaan hingga pikiran menginginkan kematian menghantui lagi. Ya setahun yang lalu saya juga memiliki concern yang sama dengan ibu di atas, hanya saja saya tak pernah mengungkapkannya. Saya memilih untuk masuk ke zona isolasi diri sejak Dario terdiagnosa CHD, jangan harap bisa chat dengan saya, bahkan saya pun mematikan telp genggam untuk  bisa mendapatkan 'peaceful moment'

Dulu, ketika mama saya bercerita tentang anak sahabatnya yang menderita lubang di jantungnya, saya sudah merinding membayangkan ketakutan dan kesedihan yang pasti menghajar sahabat mama itu habis-habisan. Menghajar dalam artian mental : kepahitan demi kepahitan yang bercampur dengan aura realistis dan negative thinking, Ah saya yakin kalau saya di posisi ibu itu mungkin saya sudah mati karena menahan sedih.

Ternyata tidak begitu, saya tak serapuh yang saya bayangkan. Ketakutan yang tadinya saya pikir akan membuat saya gila malah membuat saya semakin waras, serta kesedihan yang membuat saya ingin mati malah membuat saya ingin hidup lebih lama dan melihat bagaimana semua akan berakhir.

Lantas apakah semua sesederhana itu? hanya memeluk ketakutan dan kesedihan yang di depan mata? sure no, dimana mana teori itu lebih mudah daripada prakteknya tapi satu hal yang pasti pengalaman lah yang mengajarkan kita cara mengaplikasikannya. Jadi saya yakin sekali 100 persen, bahwa bagaimanapun seseorang menjelaskan cara ia bertahan atas sesuatu yang sangat menyedihkan dalam hidupnya kepda orang lain, orang lain tersebut takkan pernah merasakan hal yg sama sampai ketika hal tersebut menimpanya.It's real : you gotta face it to know what it feels.

Hal-hal yang menyakitkan itu datang dari dalam : dorongan impulsif yang mengatakan bahwa derita atau hal buruk yang menimpa orang-orang yang kita kasihi adalah hal yang paling menyedihkan di dunia, tak peduli orang lain mengalami apapun, yg paling menyedihkan adalah kesedihan kita, then we have nothing to do but to cope with that sadness in our own way, because it is inside us where others can't access it.

To be honest, I have tons of reasons to complain about my life yet I find it useless to even talk about it. Saya suka menyayangkan beberapa pihak yang suka komplain dengan hidupnya atau dengan hal-hal yang dia tidak punya atau juga hal-hal yang seharusnya dimiliki anaknya, saya membatin seraya berbisik pada diri sendiri, coba saja jika dia mau berjalan-jalan ke ruangan NICU untuk melihat para orangtua yang matanya sembab karena airmata yg kerap tumpah karena tak bisa menggendong anaknya, atau berkeliling di ruangan PICU untuk melihat betapa banyak doa yang dipanjatkan untuk kesembuhan buah hatinya, dia akan sadar betapa beruntungnya memiliki anak yang sehat.

Hei, anak sehat saja, adalah sebuah kesyukuran, bukan ketidakmampuan membeli benda-benda tangible tertentu yang harusnya membuat sedih dan galau. Benda-benda itu tak ada artinya sama sekali kalau orang terkasih sakit, dirawat dengan berbagai macam prosedur-prosedur medis. Kesyukuran memang tak bisa dipaksa tapi harusnya auranya bisa menular, ketika seorang kawan bercerita tentang anaknya yang sedang tidak enak badan, harusnya dari dalam diri muncul perasaan : Alhamdulillah, terimakasih Tuhan sudah menganugerahkan berkah kesehatan kepada seluruh keluarga bukan memberatkan diri sendiri dengan berkata, aduh harus segera beli stroller baru ni, yg lama sudah outdated banget.

Menjadi ibu sekaligus wanita yang memang tidak mudah. Kerapuhan adalah nama tengah kita dan ketika hal ini menyerang, pasti terbesit keinginan untuk mengakhiri semuanya. But no, hati pasti berbisik bahwa ketika semua masih kacau, bagian ini bukanlah akhir cerita melainkan sebuah klimaks. Mirip plot karya sastra memang, karena karya sastra juga adalah representasi alur kehidupan. Mengakhiri juga bukan sebuah solusi. keluarga yg ditinggalkan akan terbebani secara mental dan juga untuk diri sendiri ini berarti menyerah. Tuhan tak mungkin mengirimkan manusia ke dunia untuk hidup dan lantas mati tanpa berusaha dan berjuang untuk hidupnya. Hidup itu butuh perjuangan, dan setiap orang memiliki perjuangan dan medan tempur yang berbeda, hanya saja setiap orang memandang perjuangannya lebih berat padahal ini adalah subjektifitas. Ketika anda berada di ambang batas kewarasan karena ditimpuk cobaan berkali-kali, maka sulit untuk memandang segala hal dengan objektif.

Saat cobaan menghajar, hal terbaik yang harus dilakukan adalah berpura-pura tegar, berpura-pura kuat, tersenyum paksa meski meringis dan membatin di dalam hati. Trust me, it works! by doing this, kita mengirimkan impuls ke otak untuk tidak mengenali peristiwa ini sebagai hal yg luar biasa menyakitkan dan kemudian beban terasa lebih ringan. Fake it till you make it! Bahkan secara ilmiah ini juga terbukti, faking smiles during hard times can actually making your brain less damaged by the current saddest event in your life and it really can make you through the day!

San Dona' di Piave
9 Maggio 2016

Feeding is another Struggle : Notes from Heart Mamma


Courtesy Family Food on the Table

Katanya, Feeding your baby gives you the most romantic feeling ever of being a mom. Perkataan ini agaknya benar adanya hanya saja untuk Heart Mamma, romantic feeling biasanya berpadu dengan kepanikan, kegelisahan disertai ketakutan ini itu. Feeding normal baby saja boleh dikatakan adalah perjuangan yang keras, membuat plan dan list daftar makanan-makanan yang harus diperkenalkan, menghitung kalori, trial and error fingerfoods serta membuat makanan menjadi menarik dan lezat untuk disantap si buah hati.


Salah tingkah baru ngabisin Biscottino coklat :)

Okay, sementara untuk Heart mamma yang CHD Warriornya sudah memasuki bulan ke 6+, daftar panjang di atas harus ditambah dengan berbagai macam rutinitas seperti diantaranya filtering jenis-jenis makanan yang memiliki kalori tertinggi dan juga disukai. CHD Warrior biasanya adalah sosok-sosok yang appetitenya kurang, pun jikalau mereka punya selera makan yang tinggi, makanan dan minuman yang mereka konsumsi tidak bisa empty kalori, karena kondisi jantung yng impaired membuat jantung bekerja lebih keras dan membakar kalori lebih cepat jadi mereka membutuhkan kalori lebih banyak (so, jangan heran ya anak anak dengan CHD memang biasanya agak ramping dibandingkan anak anak lain)

Kegelisahan ini jugalah yang menggangguku, memasuki ulang bulan ke 16 Dario semakin hari semakin picky dan kerap membuang makanannya. Sebenarnya anakku bukanlah anak yang rewel hanya saja dia tetap anak-anak yang kalau tidak suka dengan makanannya ya jangan harap mau buka mulut, buat ketawa aja aja dia enggan( takut mamanya meyorongkan suapan demi suapan makanan yang dia benci). Sejatinya Dario adalah anak dengan selera makan tinggi (untuk ini Alhamdulillah) hanya saja dia susah move on dan suka makan makanan yang itu itu saja dan tergantung brand pula (untuk di Italia,Alhamdulillah baby foods yang branded juga ga mahal-mahal banget) jadi, yah sejak umur 8 bulan hingga sekarang makanan kesukaannya pasti : bubur Multicereals dengan Ayam dan kaldu sayuran, Minyak zaitun, keju Parmigiano/Grana Padano dan tentu saja fortifier : NEK. Sejak umur 8 bulan, dia sudah saya perkenalkan dengan bermacam-macam protein hewani seperti Ayam, kalkun, Domba, kambing, Sapi muda/tua, Kuda, Kelinci dan juga protein nabati : Brokoli, Wortel, Bayam,dst. Tapi ya itu kembali lagi bahwa dia suka sekali dengan ayam, kadang mau makan kelinci dan kalkun ketika mood lagi bagus.

Umur 16 bulan, normally anak-anak sudah mampu makan makanan yg bertekstur termasuk biskuit, buah masak dan sayuran masak, tapi anak saya kerap choking alias tersedak yang membuat saya takut setengah mati makanannya masuk ke paru-paru karena riwayat aspirasi yg dia punya. Akhirnya hanya beberapa kali dalam seminggu pasca recovery dari bronchiolitis dia saya cobakan makan makanan bertekstur. Salahkah saya? kerap pertanyaan ini muncul dalam benak, saya khawatir dia akan terus tertinggal tapi saya pun harus realistis bahwa hal terpenting adalah dia mau makan makanan yang kalorinya cukup tinggi untuk memastikan tubuhnya mendapatkan kalori yang dibutuhkan.

Sebagai heart mamma, saya tahu konsultasi gizi untuk tumbuh kembang CHD warrior sangat penting hanya saja di Italia slot konsultasi yang diberikan tidak banyak. Pasca Open heart kali kedua (Unifokalisasi), dietitian memberikan detail makanan lengkap dengan menu hari demi hari, tapi saya tetap harus berimprovisasi karena beberapa hal termasuk karena Dario tidak suka dan poop yang cenderung mengeras (which is really dangerous for CHD Warrior).

Googling untuk mencari solusi baby-weaning tak banyak membantu, dan hal yang sudah diketahui oleh Heart Mamma biasanya sering diulang-ulang dan magic wordsnya adalah : konsultasikan pada pediatrician dan dietitian anak anda. lagi lagi tak banyak membantu, karena sejatinya dokter pun tidak yakin bagaimana anak dengan CHD bisa mengalami kenaikan berat badan yang signifikan sehingga bisa mengejar ketertinggalan milestones. Fyi. Congenital Heart Disease adalah penyakit yang sangat sangat berbeda kasus per kasus, seorang anak misalnya bisa saja memiliki Tof tapi pasti tidak akan sama dengan anak lain yg memilki Tof meskipun secara garis besar mirip. Anatomi tubuh dan cari tubuh berkompromi terhadap jantung yg 'impaired' akan sangat berbeda pada masing-masing individu, so jangan heran ketika ada anak Tof yang tumbuhnya tambun tapi kulitnya slightly coloured ( agak gelap/membiru) dan ada juga yang kurus tapi kulitnya pink seperti anak kebanyakan.

Solusi paling mumpuni yang biasanya diberikan dokter anak adalah menambahkan fortifier di setiap makanan anak dan ini sudah saya lakukan. Sejak Dario di follow up oleh Tim RS Padova yg diketuai Prof Milanesi, Dario diizinkan untuk sekaligus mengkonsumsi dua fortifier seperti MCT oil dan juga NEK. MCT dan NEK ini mirip hanya saja NEK memiliki kalori lbh tinggi dan berbentuk tepung sehingga cocok untuk dicampur pada makanan. Apakah fortifier cukup membantu? hhmm pertanyaan yg tough. Jawabannya : ya cukup membantu meskipun kenaikan rata-rata per bulan hanya beberapa ratus gram saya, saya rasa itu tetap dinilai sebagai sebuah progress

Sebagai seorang ibu baru yang anak pertamanya memilki kondisi medis yang kompleks, saya terkadang merasakan kehampaan luar biasa ketika hal-hal yang saya usahakan tak kunjung membuahkan hasil, mungkin saya adalah sosok yang suka ngotot, tp kengototan inilah yang dulu berhasil menyelamatkan dia. Kalau saya tidak ngotot membawa Dario ke Italia, saya yakin dia tidak akan ada di sisi saya lagi saat ini. Namun sikap ngotot saya ini sekarang mungkin sudah tak berguna, atau mungkin saya harus membiarkan semua berjalan apa adanya, naturally..

hhmmm, jawabannya.. Saya harus berusaha lebih keras termasuk re-planning meal time dan juga komposisi makanannya. At the end for me, to 'Let it go' means to 'Have a go!"

Semoga kita para ibu tak cepat menyerah dan berputus asa ya, Menjadi seorang ibu adalah tugas mulia dan sebaiknya be the best one instead of the mediocre one... We just have to keep doing great, coz that's what we are, superheroes called Mom :)