Karen Armstrong -- Sekelumit Kisah pencarian Tuhan



Karen Armstrong, banyak orang mengenalnya sebagai mantan biarawati Katolik Roma yang tersohor dengan tulisan-tulisannya yang mengkaji perbandingan antara 3 agama Semitik : Yahudi, Kristen dan Islam. Meski tak semua bukunya berkutat mengenai 3 agama ini, dia dianggap sebagai seorang expert di bidang pengkajian agama (khususnya monoteistik). Tengok saja channel National Geographic ( NatGeo), jika ada hal yang berkaitan dengan 3 agama ini maka Karen Armstrong pun jadi narasumber, tak pelak lagi dia dianggap expert.

Terlahir sebagai seorang Katolik yang juga mengidap epilepsi, hasratnya untuk tahu lebih dalam mengenai Teologi telah mengantarkannya menjadi biarawati pada gereja Ordo 'Society of The Holy Child Jesus' dalam rentangan tahun 1962-1969. 
Ketika generasi muda Inggris di 1960-an dilanda demam Rock ‘n Roll, bergaya hidup gypsi, eksperimentasi narkotika dan seks, atau terjun dalam kancah politik praktis, Karen tancapkan niat mencari Tuhan. Sadar atau tidak, ia jelas memutuskan sesuatu yang luar biasa. Hal yang luar biasa tapi senantiasa mengundang tanya karena Tuhan adalah suatu realitas tertinggi yang tiada terpahami oleh logika sebab-akibat. Tuhan adalah misteri imanen yang tiada terpahami secara objektif, dan tak terbuktikan secara empiris. 



Barangkali Karen tidak cukup puas mendapati kenyataan bahwa Tuhan punya logika kehadiran-Nya sendiri. Ia tidak cukup terima atas penjelasan tentang Tuhan yang semata berdasar principium rationis sufficientis, prinsip pendasaran secukupnya bahwa tanpa dijelaskan pun, Dia tetap Tuhan. Karen haus akan pengertian yang lebih. Maka, pada 14 September 1962, ia bergabung bersama dua belas gadis lain di novisiat. Ia mengawali sebuah pencarian rohani, sebuah petualangan epik, di mana asanya bertumbuh, bahwa kebingungan diri-remajanya akan lenyap dalam misteri yang tak berhingga dan teramat memuaskan yang kita sebut Tuhan (lihat Menerobos Kegelapan, Mizan, 2004).

Armstrong lahir pada 1945 (dari ayah pelaku bisnis, dan ibu akademisi di Universitas Birmingham), di pedesaan dekat Birmingham, Karen tidak menyangka bahwa kehidupan di dalam biara ternyata kaku dan keras. Peraturan diterapkan sangat ketat, dan para novis digiring untuk menjalani kepatuhan buta mendogma (tidak boleh bertanya atau mengkritik kebiasaan yang sudah mapan, bersikap hormat kepada biarawati yang lebih tua, harus berlutut ketika berbicara dengan superior, dan seterusnya).

Meskipun begitu, setelah tiga tahun, ia berhasil mengambil kaul kemiskinan, kesucian, dan ketaatan (artinya, satu langkah sebelum kaul kekal), yang berlaku untuk lima tahun ke depan. Karen pun diharuskan untuk mengikuti dua tahun pelatihan (Skolastikat) di London. Selepas masa Skolastikat, 1967, walaupun masih tinggal di biara, Karen memulai studi di Kolese St. Anne’s, Oxford. Dari situlah segalanya berbalik arah.

Kultur biara, yang terlampau ketat dalam tradisi dan kuat dalam dogma, berbenturan hebat dengan atmosfer pemikiran yang bebas, kritis, dan dinamis di universitas. Karen terguncang. Ia seolah terjaga bahwa ada beberapa persoalan keagamaan yang menggoyahkan keimanannya: apakah agama berhak memonopoli kebenaran? Bukankah agama (demi mengkultuskan seorang kudus, misalnya) malah berpotensi mengaburkan kebenaran? Apakah Bunda Maria benar-benar hamil tanpa “dosa asal” dan apakah tubuh dan jiwanya terangkat ke surga setelah dia mati? Apakah Yesus bangkit kembali secara faktual? Bagaimana orang bisa tahu bahwa Yesus itu Tuhan? Apakah Tuhan itu memang ada? (Menerobos Kegelapan, hlm. 124 dan 424). Karen kian bimbang.

Kemudian, ia terkenang akan ketidakmampuannya untuk berdoa. Doa bagi kehidupan religius merupakan sebuah sine qua non, sebuah persyaratan yang tak tertolak. Doa merupakan ritual mistis, di mana seseorang merasa tengah berdekatan dengan Tuhan. Tanpa doa, kehidupan religius menjadi semacam kepura-puraan. Di sinilah Karen merasa gagal. Seturut pengakuannya, ia tak kunjung memperoleh pencerahan lewat doa. Ia merasakan stagnasi (atau barangkali degradasi) iman. Dengan demikian, Tuhan tidak pernah merupakan kehadiran “nyata” baginya. Tuhan ternyata merupakan realitas yang tidak ia mengerti, yang tidak mampu memuaskan dahaga dalam dirinya. “Jika Tuhan memang ada, Dia mungkin tidak ingin ada urusan apa-apa dengan saya,” ucapnya pasrah (Menerobos Kegelapan, hlm. 125).

Ia Keluar dari Biara

Realitas dunia ternyata membuat Karen gamang. Ia merasa seperti “seorang perempuan yang lepas dari pasungan, dengan kedua kaki yang sudah tak bisa lagi dipergunakan untuk melangkah”. Ia mengalami serangkaian kekecewaan.

Ia gagal dalam ujian doktoral di Oxford. Ia gagal sebagai pengajar di sebuah sekolah di London. Serial berjudul Opinions untuk stasiun televisi Channel 4, yang ia bawakan, bangkrut. Ia terlunta-lunta. Ia, yang tadinya menderita dalam pencariannya akan Tuhan, kini dicabik kemalangan silih-berganti. Ia seperti punya alasan untuk menjadi atheis. Berkali-kali ia menjerit, “Saya sudah selesai dengan Tuhan.”



Seiring waktu, walaupun mengaku sudah selesai dengan Tuhan, Karen ternyata tidak bisa lepas sepenuhnya dari ranah keagamaan. Apalagi ketika ia diminta untuk menulis. Yang mula-mula terbersit dalam benaknya adalah menulis tentang Sejarah Tuhan. Tuhan yang bukan seperti penggambaran para teolog atau mistikus (yang berangkat dari keyakinan/iman tertentu). Tuhan yang tidak hanya berarti realitas.


Ia menjumpai fakta bahwa pandangan tentang Tuhan dalam tiga agama besar Ibrahimi (Yahudi, Kristen, dan Islam) memiliki titik perbedaan sesuai dengan konteks historis masing-masing (lihat Sejarah Tuhan, Mizan, 2001). Namun, ada semacam benang merah yang menghubungkan ketiganya: Tuhan yang sama dan ajaran yang serupa, yakni cinta kasih.

Berangkat dari tema itu, ia kemudian dipenuhi rasa prihatin melihat para pengikut Tuhan bertikai sengit demi alasan-alasan yang kurang berdasar (Perang Salib, konflik Israel-Palestina, atau tragedi 11 September). Ia menegaskan bahwa pertentangan yang mengarah pada kekerasan agama merupakan akibat dari tiadanya pemahaman timbal-balik antaragama. Ia menyesalkan itu. Lantas ia menulis sejumlah buku, di antaranya Through the Narrow Gate, Beginning the World, The Spiral Staircase, In the Beginning, Jerusalem, Crusade, The Battle for God, A History of God, Holy War, Muhammad, Islam, dan Buddha.

Dengan demikian, dimulailah babak baru dalam kehidupannya. Pengalaman biara masih membekas di dalam hatinya. Kegagalan dan kekalahan bertubi-tubi tidak akan ia lupakan. Namun, ia mesti terus menatap ke depan. Puisi Eliot, Ash Wednesday, terngiang-ngiang di telinganya. Semakin ia merenungkan keadaan dirinya, semakin ia mantap menapaki tangga spiral gubahan Eliot. Ia tahu bahwa ia akan kembali ke titik awal, namun setidak-tidaknya ia menjalaninya dengan kesadaran penuh, dan berharap beroleh secercah cahaya dari situ.

Agama memang sudah membuatnya terluka. Tetapi, pengalaman-pengalaman baru yang ia kecap selepas meninggalkan biara menyingkap makna kesejatian hidupnya sendiri. Bagaimanapun, ia memang tak kuasa berpaling dari terma agama. Hanya saja, ia mengemban bakti lain. Ia tegaskan pencariannya akan Tuhan dengan berbekal teologi universal. “Kebahagiaan saya terletak pada belajar teologi,” ungkapnya (Menerobos Kegelapan, hlm. 548). Ia telah menemukan hakikat kemanusiaannya sendiri. Semua itu ia tuntaskan dengan menulis.



No comments

Post a Comment