Thankful Poem - Lovely Poem

I thank you God for most this amazing...

I thank You God for most this amazing
day: for the leaping greenly spirits of trees
and a blue true dream of sky; and for everything
which is natural which is infinite which is yes

(I who have died am alive again today,
and this is the sun's birthday;this is the birth
day of life and love and wings:and of the gay
great happening illimitably earth)

how should tasting touching hearing seeing
breathing any-lifted from the no
of all nothing-human merely being
doubt unimaginable You?

(now the ears of my ears awake and
now the eyes of my eyes are opened)

Edward Estlin Cummings



What a fabulous Poem... isn't it?

Negeri 5 Menara, Novel Inspiratif Mantan Pewarta


Jika anda seorang termasuk salah seorang penggemar novel-novel inspiratif baik dalam bentuk memoar ataupun murni fiksi, anda pastinya tidak akan melewatkan novel yang satu ini. Terinspirasi dari Tetralogi Rainbow Troops a.k.a Laskar Pelangi, Negeri 5 Menara cukup bisa menawarkan nilai-nilai inspiratif otentik yg cukup mirip dengan Laskar Pelangi, sebuah kisah perjuangan anak daerah untuk meraih impiannya.

Novel yang sejatinya berjumlah 3 seri ini (tepatnya trilogi) adalah novel pertama A.Fuadi mantan pewarta Tempo dan VOA yang di-launching pertama kali Juli 2009. sejak awal kemunculannya, novel ini sudah memunculkan banyak ekspektasi tentang kemiripannya dengan tetralogi Laskar Pelangi. Bukanlah sebuah keterkejutan, jika anda membaca novel ini anda juga akan merasakan hal yang sama. berkisah tentang persahabatan anak daerah, bagaimana perjuangan mereka untuk meraih impian masing-masing dan juga stereotype bahwa 'jangan sampai takut bermimpi'

Novel perdana A.Fuadi ini sebenarnya, jika menilik judulnya, sangat menantang rasa ingin tahu saya (sebagai penggemar berat LP) untuk kemudian membandingkan pengalaman inspiratif yang saya dapatkan ketika membaca tetralogi Laskar Pelangi. Namun, ya latar belakang penulis yang cukup berbeda membuat keduanya begitu tak mirip ketika berusaha di mirip-miripkan. Hanya ide awal saja yang mungkin kelihatan begitu mirip (mungkin benar-benar terinspirasi dari Laskar Pelangi) namun penggambaran setiap objek benar-benar berbeda. Lihat saja, Andrea Hirata seorang awam yang sama sekali belum pernah menulis sebelumnya dengan gaya penulisan gamblang dan kocak --hingga akhirnya bisa menulis Tetralogi-- sangat berbeda dengan gaya penulisan A.Fuadi yang notabene mantan wartawan Tempo yang sangat kaya dengan pengalaman menulis sehingga style menulis feature sangat kentara di novel perdananya ini. Jadi kesimpulannya keduanya benar-benar tak mirip!

Though, saya begitu tertantang untuk menemukan pluses and minuses kedua novel yang kata orang 'komersil' ini. Laskar pelangi, dengan semua kontroversi dan nilai-nilai luhurnya nampak begitu sederhana sehingga bisa menyentuh hati orang-orang awam- masyarakat Indonesia secara umum, sementara Negeri 5 Menara dengan bahasanya yang sangat mendetil- meski semua objek dan ruang yg dijelaskan dengan sangat sempurna (karena pengaplikasian teknik menulis feature) tampak begitu hambar, pembaca mudah lupa plot karena deskripsi setiap hal begitu panjang lebar. tetapi, mungkin ini dia yang membuat kelas A.Fuadi begitu berbeda dengan Andrea Hirata. Sebagai mantan pewarta kelas A, ia mungkin tak mau melewatkan kesempatan ini untuk terus mengasah skill-nya menulis feature. Terlepas dari semua hal diatas, kedua novel ini layak dibaca karena nilai-nilai yang ingin disampaikan benar-benar sangat dibutuhkan masyarakat Indonesia, but afterall itu semua tergantung anda pembaca yang budiman, anda lebih suka novel inspiratif dengan gaya penulisan sederhana?? atau novel inspiratif karya mantan kuli tinta yang bisa membuat anda membayangkan setiap detil dengan sempuran layaknya membaca sebuah karya feature globetrotting seorang wartawan?? semua ini tergantung anda....Selamat membaca!

Berikut kutipan yang sangat saya sukai dalam Negeri 5 Menara :

Tanpa menunggu jawaban kami, dia melantunkan syair berbahasa Arab dari Imam Syafii:
Orang pandai dan beradab tidak akan diam di kampung halaman
Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang
Merantaulah, kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah setelah lelah berjuang. (p.210-211)

"Man shabara zhafira. Siapa yang bersabar akan beruntung. Jangan risaukan penderitaan hari ini, jalani saja dan lihatlah apa yang akan terjadi di depan. Karena yang kita tuju bukan sekarang, tapi ada yang lebih besar dan prinsipil, yaitu menjadi manusia yang telah menemukan misinya dalam hidup," pidatonya dengan berapi-api.

Misi yang dimaksud adalah ketika kalian melakukan sesuatu hal positif dengan kualitas yang sangat tinggi dan di saat yang sama menikmati prosesnya. Bila kalian merasakan sangat baik melakukan suatu hal dengan usaha yang minimum, mungkin itu adalah misi hidup yang diberikan Tuhan. Carilah misi kalian masing-masing. Mungkin misi kalian adalah belajar Al-Qur'an, mungkin menjadi orator, mungkin membaca puisi, mungkin menulis, mungkin apa saja. temukan dan semoga kalian menjadi orang yang berbahagia," katanya berfilsafat.(p. 106)

The Alchemist, Memahami Jiwa Dunia



Membaca buku, bagai memasuki sebuah Jiwa dunia jika boleh menyitir term khas Coelho. Itu yang terasa ketika membaca karyanya yang paling tersohor 'The Alchemist'. Jika boleh memberi justifikasi sebenarnya ini bukan kali pertama aku membaca karya ini, tapi kali inilah saat dimana aku benar-benar memaknai isinya, menyerap energinya hingga rasanya aku tak ingin lekas- lekas menyelesaikan bacaan ini (lagi).

'The Alchemist' atau dalam judul indonesianya 'Sang Alkemis' adalah novel dari sang maestro sastra Brazil yg pertama kali dipublikasikan dalam bahasa Portugese pada tahun 1986 dengan judul original 'O Alquimista' bercerita tentang hidup, perjuangan, cinta, harapan serta konsep kosmik jiwa dunia. Plotnya sederhana, dengan diksi yang simple namun sarat makna sehingga menggelitik pembaca bagaimana pencarian Sang anak lelaki, Santiago, akan berakhir. Membaca Novel Allegorical apik ini sungguh memunculkan kembali suasana saat- saat sedang membaca The Old Man and The Sea karya Ernest Hemingway. Tokoh dimunculkan dengan cara yang relatif sama, sederhana tapi sangat impressive. Pemunculannya juga sangat sistematis, berurutan serta sangat mudah dihapal kontribusi masing-masing tokohnya.

Namun, hal yang sangat mencolok dari novel ini adalah kemampuannya menjawab pertanyaan hidup tanpa lepas dari konteks fiksinya. Pembaca bisa langsung melihat potret dan konsep diri serta jagad raya tanpa kehilangan daya tarik fiksi allegorinya serta inspirational quotes-nya.

Novel ini terbilang tipis, tebalnya hanya berkisar 200-an halaman sangat suitable buat pemula dan bagi mereka yang tidak begitu menyukai gaya penceritaan bersayap-sayap. Novel ini sarat pelajaran hidup, spiritualitas, energi, toleransi serta arti sebuah pengharapan. Mengingat kontennya yang sangat kaya, dibutuhkan saat yang tenang untuk membacanya agar setiap baris benar-benar anda maknai dengan sempurna. Masuki dunianya, tenggelamlah sejenak dalam kisah pencarian santiago akan harta karunnya serta cinta yang ditemukannya di tempat yang sama sekali tak ia duga namun setia menunggunya hingga ia menemui takdirnya.

Sebuah kutipan menarik dalam Sang Alkemis:

 "Jangan menyerah pada rasa takutmu," kata sang alkemis; aneh, suaranya lembut sekali. "kalau kau menyerah, kau tidak akan bisa berkomunikasi dengan hatimu."
 "Tapi aku tidak tahu bagaimana cara mengubah diriku menjadi angin."
 "Orang yang menjalani takdirnya tahu segala yang perlu diketahuinya. Hanya ada satu hal yang membuat orang tak bisa meraih impiannya: takut gagal."
 "Aku tidak takut gagal. Aku hanya tidak tahu cara mengubah diriku menjadi angin."
 "Kalau begitu, kau mesti belajar; nyawamu taruhannya."
 "Bagaimana kalau aku gagal?"
 "Berarti kau akan mati di tengah usahamu mencoba mewujudkan takdirmu. Itu jauh lebih baik daripada mati seperti jutaan orang lainnya yang bahkan tidak pernah tahu takdir mereka.
 "Tapi tak usah khawatir," sang alkemis melanjutkan. "Biasanya justru karena takut matilah orang jadi sadar akan hidup mereka."

Lastly, novel in sangat saya rekomendasikan bagi anda pencinta filsafat serta novel ringan namun kaya makna dan pembelajaran hidup tapi ada satu saran lagi yg harus anda pertimbangkan, 'cobalah buka mata hati' ketika membacanya, maka sebuah pencerahan akan terasa lagsung setelah anda membacanya.... karena 'Pencerahan' itu sebenarnya tidak bisa dideskripsikan, namun harus dialami sendiri. Wallahualam

PS: The English version is recommended!


Is Kindness a weakness? This is why






Are independent people developed and generous people stupid?

A new book, On Kindness, by psychologist Adam Phillips and historian Barbara Taylor, asks why we generally see independent people as strong and charitable people as dumber or less developed. It asks how we got to a place in human history in which heroism is most often depicted as independence, and in which we interpret small acts of random kindness as suspect--as a repressed need to be recognized, as a sign of an overly submissive nature, or even as a symptom of mental illness.
On Kindness starts with a short history of kindness, from Christ's notion that kindness was naturally human, through Enlightenment skepticism (Hobbes' claim that we are naturally greedy), to the modern ideal of ownership. Today, when prompted to imagine a hero, we think of independence; and kindness is generally considered the icing--the sweet lining but not the principle sign of a strong human being.

In parallel to this issue of kindness, see last week's great The New Yorker article, "The Kindest Cut," by Larissa MacFarquhar, in which she looks at kidney donors. She explains that some people donate their kidneys to strangers for no apparent reason other than a need to give something big to another human being. She notes how we tend to see this as pathological. While she tries for balance in her article, MacFarquhar herself indulges in caricature at times, depicting the donors as whacky, or suspicious in their willingness to give up a part of their bodies with no promised reward.

One of the donors, Melissa Stephens, aged 24, is introduced through her blog with its childish punctuation and all: "I LOVE CAKE, ask anyone. my favorite cake is funfetti with funfetti frosting.... i love my friends and i'd do anything for them. my biggest flaw is being too nice to people who are mean to me." So, when Stephens makes the decision to donate her kidney to a stranger, she essentially seems like an adolescent who's scared to know her more complicated desires.

Another donor featured in MacFarquhar's article gets seriously depressed after giving an unknown woman his kidney. He says it feels like withdrawal to come off the rush of feeling like a hero. By showing us the secret lives and conflicted emotions of donors, MacFarquhar is essentially asking what we feel about kindness: Are altruists generous because we all have a simple desire to give? Or, do these people have possible imbalances in their psychology, like excessive submissiveness or a repressed need to be recognized as worthy?

Taylor and Phillips do offer a short answer to those sort of questions in their book On Kindness. After exploring the history of kindness, they essentially offer their own definition of it, using Freud to root their argument. Their idea (via Freud) is essentially this: When we're children, we idealize concordance with the world. We don't yet have the frontal cortex to conceptualize the difference between a "me" and all of the physical stuff we hear, taste, and feel. We simply feel as if everything is one thing--existence without description. That's an initial vision of bliss.
But as we grow up, we begin to separate one thing from another, label it all, and come to identify with a sense of "me," in contrast to other people and events. This is how self-interest--aggression and defensiveness--develop. As we learn about the difference between ourselves and the world, we want to protect ourselves, to fight for our recognition or existence. Freud, the authors admit, comes to a standstill at this stage of maturity--saying that for most of our lives, we're aggressive in defending the self. We want to have sex to protect our bloodline; we largely want to protect or proclaim our stance in the world.

Taylor and Phillips essentially agree with Freud's picture of how greed emerges, but they add another stage to life (which Freud admitted but did not emphasize, and which Freud's sometimes-rival Alfred Adler ardently supported). They say that after individuation--and if we can think our way beyond an animalistic fear for our lives--we see that what humans call "meaning" only comes through collaboration. That is, without language and work among others, we have no meaning. But to honestly and openly acknowledge this fact, we need to make ourselves vulnerable again. We need to listen, to be patient--and, often, to be kind. Collaboration demands a giving and taking of gifts without guarantee of reward.

This is where real kindness sits, the authors say (modernity is perhaps just too much a rat-race for us to acknowledge this). Kindness is one of the highest modalities of human behavior, because it means moving from an infant's idealism, on to a young person's defensiveness, on to a wiser willingness for vulnerability. The wise-and-kind are the people who give in order to risk and thereby create.
There are more and less mature forms of kindness, Taylor and Phillips suggest. A child simply wants everyone to "make nice." An adult knows more about our natural needs to aggress and defend. In turn, an adult acknowledges her own vulnerability and defensiveness even as she tries to be generous. Call "mature kindness" a more "neurotic" than "simple" kindness. It's full of thinking. An adult who is kind is kind principally because she wants to foster a collaboration--as a risky but necessary part of living a full human life.

What do you think: What is the driving force behind generosity, or kindness?

see here the real article